Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hukum "Meme", Telanjang, dan Kaitannya dengan Setnov

21 November 2017   09:09 Diperbarui: 21 November 2017   09:49 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, pikiranku, sebenarnya mungkin bukan hanya pikiranku, tapi pikiran masyarakat secara luas merasa muak dengan berita tentang Setya Novanto (Setnov). Aku muak. Bukan muak dengan beritanya, tapi muak dengan perilaku Setnov dalam berita. Saat dipanggil KPK, malah tidak hadir dengan berbagai alasan. 

Dia - seperti yang kubaca dalam berita - akan menjadi saksi korupsi proyek E-KTP. Tapi, setelah baca berita lagi saat KPK akan memaksa, ternyata Setnov kecelakaan. Mobilnya menabrak tiang listrik katanya. Tapi, tragedi tabrakan itu seperti yang kubaca dalam berita, hanya semacam sandiwara. Macam film-film Korea saja. Tapi, akhirnya Setnov sudah "dicekal" oleh KPK dalam keadaan sakit yang menurutku pura-pura dibuat sakit dan kecelakaan. Entahlah.

Sebelumnya, Setnov katanya akan memperkarakan masyarakat yang membuat meme tentang dirinya. Aku hanya berpikir begini, oke silakan diperkarakan, tapi selesaikan urusanmu dulu dengan KPK. Jangan sampai terulang seperti kasus Abraham Samad saat berusaha memberantas korupsi, malah dia juga dilaporkan bermasalah. 

Akhirnya, Abraham Samad memilih mundur. Padahal, jika kita mau berkomitmen dalam penanganan suatu kasus, khususnya kasus korupsi, sebaiknya kasus satu (misal korupsi) selesaikan terlebih dahulu baru kasus lainnya. Kalau begitu caranya, mungkin bisa selesai. Misalkan saat ini Setnov yang diduga terlibat kasus proyek E-KTP, ditambah lagi berkelitnya yang sudah membuat masyarakat muak. Andai Setnov, misalkan mempersoalkan kasus lain, jangan hiraukan dulu, biarkan kasus lain yang misal menimpa pegawai KPK atau siapa saja dengan tetap didokumentasikan, tapi kasus Setnov selesaikan, setelah itu baru kasus lainnya.

Tapi, aku merasa Setnov dan pengacaranya itu centil jika memperkarakan pembuat memenya. Wakil rakyat mau memperkarakan rakyat yang diwakili? Pokoknya aku muak. Aku tak sudi punya wakil macam dia. Sebagai wakil rakyat, ayomi lah masyarakat bagaimana baiknya. Kenapa masyarakat membjat memenya? Siapa yang mengajari pikiran bikin gerah hati jadi sumpek membaca berita Setnov yang seperti mau berkelit pada KPK?

Dalam perkara Setnov ingin mempersoalkan meme dirinya, itu tidak perlu dihiraukan menurutku. Begini, temanku di akun Facebook menulis status bahwa di dekat kosnya ada maling burung ketangkap basah. Dia dipukul massa dan hingga ditelanjangi. Di sana, juga ada polisi. Temanku mempertanyakan jika maling burung saja masyarakat berani menelanjangi, bagaimana jika masyarakat menelanjangi macam koruptor, berani? Aku berkomentar juga di sana bahwa masyarakat juga telah menelanjangi koruptor atau pejabat (yang katanya wakil rakyat) seperti Setnov dengan meme. Masak polisi akan memenjarakan orang yang menelanjangi maling? Tidak ada beritanya bahwa polisi atau hakim memperkarakan orang yang menelanjangi maling. Jadi, apa salahnya (sebenarnya salah) jika kita menelanjangi wakil kita yang bejat, jahat, dan tidak amanah atas kepercayaan rakyat?

Kadang aku sempat berpikir, bagaimana jika rakyat secara langsung datang dan menghajar para koruptor? Ah, itu pikiran mustahil. Indonesia masih menganut sistem hukum yang diberlakukan. Bukan hukum rimba lagi. Tapi, kadang mirip hukum rimba juga. Siapa yang kuat dia yang dapat. Kita pasti pernah mendengar perkataan bahwa hukum di Indonesia hanya runcing ke bagian bawah saja. Aku kadang juga berpikir, jangan-jangan penjara bagi pejabat yang bejat ada yang VIP atau VVIP? Benar gak ya? Semoga penjara semuanya sama. Semoga tidak ada yang mewah. Semoga kita diselamatkan dari penjara dunia dan lebih-lebih penjara akhirat. Amin.

Rakyat sudah membayar pajak, jika tidak bayar atau lambat dikenakan denda. Lalu, orang - yang seperti disulap menjadi wakil rakyat - malah sebenarnya mereka yang menikmati hasil penarikan pajak dari rakyat. Di mana sebenarnya kesadaran kita ditempatkan? Rakyat seperti dipermainkan dan dibodohi oleh wakil-wakilnya di Senayan. Adakah pemimpin dan wakil-wakil kita yang benar-benar untuk mengabdi kepada rakyat? Sulit kita temukan, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Coba tidak digaji? Siapa yang mau jadi DPR kalau tidak digaji? Siapa yang mau bertarung jadi wakil rakyat di Senayan jika tidak digaji? Ada? Tidak mungkin ada, jika ada aku akan berguru padanya dan akan mengajak masyarakat untuk membuka acara pengajian Senin dan Kamis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun