Mohon tunggu...
Junaidi
Junaidi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

5 Faktor yang Mengancam Eksistensi Karet Indonesia

11 Juli 2019   01:40 Diperbarui: 11 Juli 2019   01:45 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 3,5 juta hektar tanaman karet dan termasuk negara pengekspor karet terbesar di dunia. Namun apakah status ini akan terus bertahan?. Di masa lalu, tembakau Deli milik Indonesia adalah yang terbaik di dunia dan merajai pasar ekspor, perkebunan tebu Indonesia juga pernah jaya dan dibudidayakan secara luas. 

Tapi sekarang, untuk kedua komoditi itu Indonesia kurang diperhitungkan di tingkat global. Pelan namun pasti, karet sebagai salah satu komoditi perkebunan utama pada masa kolonial Belanda dan awal kemerdekaan mulai meredup. Bisa jadi, di masa yang akan datang karet Indonesia tidak lagi mewarnai kancah internasional. Berikut ini 5 faktor yang berpotensi menggusur eksistensi karet Indonesia.

Penggunaan karet sintetis

Tanaman karet mungkin tetap menjadi primadona andai tidak ditemukan karet sintetis. Sekarang ini, konsumsi karet sintetis lebih tinggi dibanding karet alam. Pada tahun 2018, konsumsi karet sintetis mencapai 15,3 ribu ton sedangkan karet alam hanya 13,8 ribu ton. Negara eksportir karet sintetis antara lain: Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Thailand, dan Rusia.

Tidak kurang dari 20 jenis karet sintetis beredar di pasaran, di antaranya adalah: Styrene Butadiene Rubber (SBR), Butadiene Nitrile Rubber (NBR), Ethylene Propylene Diene Monomer (EPDM), Silicone, Fluorocarbons (FKM), dan Polyurethanes (PU). Tidak dapat dipungkiri, negara-negara maju memiliki teknologi polimer yang mumpuni, sehingga di masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan semakin banyak jenis karet sintetis yang diproduksi.

Serangan penyakit

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari pedalaman sungai Amazon, Amerika Selatan. Tadinya karet banyak dibudidayakan di wilayah ini, namun karena serangan penyakit Hawar Daun America Selatan (Microcyclus ulei), tanaman karet di wilayah ini tumpas. 

Saat ini, Brazil hanya produsen karet yang minor dan kurang diperhitungkan di kancah global. Karet justru banyak dibudidayakan di Asia Tenggara dan Afrika. Negara seperti Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Malaysia mendominasi suplai karet alam dunia.

Temperatur hangat dan lembab di daerah tropis adalah kondisi ideal bagi berkembangnya patogen penyakit. Di Indonesia, penyakit gugur daun yang umum dijumpai antara lain: Oidium heveae, Corynespora casiicola, dan Colletotrichum gloeosporioides. 

Namun beberapa tahun terakhir dijumpai penyakit baru Pestalotiopsis microspora, penyakit berbahaya yang menyerang semua klon dan umur tanaman. Perubahan iklim (Climate change) dikhawatirkan banyak ilmuan akan memicu evolusi mikroorganisme yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru yang sebelumnya tidak ditemukan.

Sumber karet alam lain

Karet para (Hevea brasiliensis) yang biasa kita jumpai di Indonesia, bukan lah satu-satunya tanaman penghasil karet alam, setidaknya ada 20.000 spesies yang bisa menghasilkan karet. Di antara spesies-spesies tersebut, yang pernah dan masih dipanen karetnya antara lain: guayule (Parthenium argentatum), jelutung (Dyera costulata), karet India (Ficus elastica), gutta-percha (Palaquium gutta), dan Russian dandelion (Taraxacum kok-saghyz).

Negara konsumen mulai berupaya mengurangi ketergantungan terhadap negara penghasil karet alam dan melirik tanaman lain sebagai sumber bahan baku. 

Produsen ban Bridgestone mengembangkan tanaman guayule di Arizona, Amerika Serikat sebagai alternatif bahan baku industrinya. Di Eropa, Russian dandelion mulai diteliti sebagai substitusi karet para. Bahkan telah dihasilkan prototipe ban kendaraan dari karet dandelion yang dikabarkan memiliki kualitas lebih baik dari karet para.

Harga karet stagnan

Dalam tujuh tahun terakhir harga karet menurun drastis dan hingga saa ini, belum ada tanda-tanda harga akan membaik. Kondisi ini sangat memukul petani dan perusahaan perkebunan karet. 

Bagaimana tidak, di Indonesia jutaan kepala keluarga menggantungkan hidup dari tanaman karet. Sayangnya, harga karet lebih banyak ditentukan oleh konsumen dan perantara perdagangan. Lelang harga karet dilakukan di Singapura dan Tokyo, di negara yang tidak menghasilkan karet alam sama sekali.

Prediksi kebutuhan karet alam akan terus meningkat seiring tumbuhnya perekonomian global dan tingginya konsumsi karet untuk ban kendaraan, tidak menjamin harga karet ikut naik. Pada tahun 2011, harga karet pernah mencapai lebih dari 500 JPY/kg, sekarang tidak sampai setengahnya. Dengan kondisi ini, barangkali sebagian investor tidak lagi tertarik mengembangkan tanaman karet.

Konversi dengan tanaman lain

Perkebunan karet pernah mengalami masa-masa kejayaan. Di masa kolonial Belanda, sampai-sampai banyak buruh perkebunan karet didatangkan dari Jawa ke Sumatera Timur, dikenal dengan istilah kuli kontrak. Perkebunan karet terus berkibar sampai tahun 70an sebelum kelapa sawit menjadi primadona. Lebih dari 70% tanaman karet Indonesia dikelola petani kecil. 

Selama harga karet rendah, banyak petani alih profesi demi menyambung hidup, kebun karet ditinggal begitu saja. Di tengah rasa frustrasi, banyak petani menebang karetnya dan diganti dengan tanaman lain yang lebih menjanjikan. Sepertinya, petani mulai kehilangan kepercayaan bahwa karet bisa membawa kesejahteraan bagi mereka.

Setali tiga uang dengan yang dialami petani, banyak perusahaan perkebunan karet merugi karena harga karet anjlok. Untuk dapat bertahan, perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk biaya pemeliharaan tanaman. 

Tapi ini saja tidak cukup, banyak perusahaan mengkonversi dengan tanaman lain, padahal sebelumnya menanam karet puluhan tahun. Kelapa sawit adalah komoditi yang paling banyak menggantikan karet. Tidak heran kalau saat ini luas tanaman kelapa sawit Indonesia tercatat sudah mencapai lebih dari 10,0 juta hektar. Jika kondisi ini berlanjut, dapat dipastikan luas tanaman karet Indonesia akan menurun drastis.

Itulah beberapa faktor yang mengancam eksistensi karet Indonesia. Bagaimanapun, optimisme tetap ada. Peningkatan harga yang ditunggu-tunggu diyakini dapat mengembalikan gairah agribisnis karet. Di samping itu, tantangan besar bagi peneliti untuk mengatasi penyakit dan menghasilkan produk karet yang berkualitas guna menjamin karet Indonesia tetap lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun