Langit terdengar bergemuruh pada siang menjelang sore hari ketika itu. Menyusul hujan deras disertai petir, yang tidak segan menghunjam seisi bumi. Meski begitu, niatku bersama Erwin, salah seorang kawanku, takkan padam untuk menunaikan tanggung jawab di Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur.
Pukul 18:30 WITA, azan terdengar dikumandangkan melewati toa masjid, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari tempat keberangkatan. Tak banyak 'amunisi' maupun perlengkapan yang dibawa. Terus terang, perkara finansial bukanlah sesuatu yang signifikan bagi saya termasuk beberapa kawan.Â
Lima belas menit kemudian kami memutuskan memulai perjalanan dari Sangatta. Dengan mengendarai kendaraan roda dua, yang dilengkapi kemampuan berkendara pada segala medan dan iklim. Meski permukaan jalan beraspal sepanjang jalan Sangatta-Bengalon, bukan berarti semuanya berlangsung kondusif. Bayangkan saja, lubang jalan berdiameter 50-80 centimeter sering kali menyebabkan kami hampir mengalami kecelakaan tunggal. Tidak hanya beberapa ruas jalan yang berlubang. Banyak, tak terhitung jumlahnya!Â
Setelah menempuh satu jam lebih perjalanan kami pun tiba di Bengalon, dan langsung menuju ke kediaman Pak Benang, seorang Kepala Adat Dayak Basap, di Desa Tebangan Lembak. Tepat pukul 20:00 WITA, tampak dari posisi kami memarkir kendaraan penjaga alam bumi Bengalon itu telah duduk bersila di ruang tamu rumahnya. Ini merupakan kali kedua pertemuanku dengannya. Sekalipun begitu, rasa-rasanya seperti sudah belasan tahun mengenal Pak Benang. Bahkan saya sendiri merasa seakan kembali pulang ke "rumah".Â
Mengawali perbincangan, kami dibuat bertanya-tanya pada tiap pernyataan, yang disampaikan olehnya. Bukan berarti absurd tetapi penuh makna. Sesekali ia terbahak sendiri menyusul matanya hampir tertutup ketika sedang tertawa melihat kami kebingungan, mungkin. Beberapa warga Dayak Basap, yang kami jumpai pun juga terdapat kemiripan dalam hal interaksi sosial. Terlebih bila perbincangan itu mengenai sikap mereka secara etnik.Â
Selang tiga jam mengobrol dengan Pak Benang, kami telah menemukan jawaban atas sederet pertanyaan mengenai genealogi Dayak Basap. Di penghujung obrolan saya menyinggung perkara mempertahankan tanah leluhur di tengah gempuran industri ekstraktif, yang telah mengepung kampung mereka. "Mempertahankan lahan dekat perusahaan tidak [akan] jadi apa-apa," katanya seusai menceritakan perjalanan kesatuan masyarakat adat Dayak Basap Tebangan Lembak dalam memperjuangkan haknya.Â
Memastikan tanah leluhur tidak dirampas oleh siapapun, bukan saja tentang menjaga tumbuh-tumbuhan langka beserta kelestariannya serta menegakkan norma adat namun juga sebagai upaya meneguhkan kredo yang telah diwariskan turun-temurun dari para pendahulu. Adalah Datuk Macan, nenek moyang Dayak Basap di Bengalon yang diyakini memiliki peranan penting atas pembentukan pranata sosial masyarakat adat di sana.Â
Perlu diketahui, bahwa warisan ilmu astronomi dalam menentukan waktu terbaik untuk memulai perladangan, dan upacara adat untuk merayakan panen padi, keselamatan, maupun mengobati orang sakit merupakan tradisi warga Dayak Basap di Desa Tebangan Lembak yang hingga kini masih terjaga.Â
Di lain kesempatan, saya akan menulisnya lebih jauh terutama mengenai ritus Ngembang Tahun dalam kebudayaan warga keturunan Datuk Macan.Â
Setelah melihat waktu sudah menunjukkan pukul 23:10 WITA, saya dan Erwin berpamitan dengan Pak Benang untuk segera beristirahat di masjid terdekat. Karena semilir angin ditambah hujan yang terus menderu lantai berbahan keramik sebagai alas tidur kami semakin dingin. Bahkan terasa hingga menusuk tulang. Saya pun bertanya kepada kawan, "Sudah terbiasakah kau tidur begini?" Tanyaku, "Iya, sejak masa-masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) kampus," katanya dengan enteng. Gumamku, ternyata manfaat berkuliah bukan saja menimba ilmu di perguruan tinggi namun juga menempa mahasiswa agar memiliki daya tahan punggung yang kuat terhadap panas serta dinginnya cuaca.Â
Keesokannya, di pagi hari, seusai menunaikan salat subuh berjamaah kami sarapan terlebih dahulu sebelum kemudian menemui Pak Benang, yang sudah menunggu kami di pelataran rumahnya bersama sejumlah pengurus lembaga adat. Setibanya, saya pun saling bertatap mata dengan Erwin, untuk mengisyaratkan bahwa kita takkan bisa berlama-lama berbincang kali ini karena harus sesegera mungkin kembali ke Sangatta. Lantaran urusan yang sangat mendesak.Â