Dewasa ini, tidak sulit mendapati perempuan yang menggunakan jilbab atau busana yang menutupi aurat mereka. Dahulu, sekitar tahun 80-an ke bawa penggunaan jilbab tidak semarak seperti saat ini. Bahkan pada masa itu perempuan yang menggunakan jilbab ini merupakan sejenis kerudung yang longgar nampak terlihat bagian area leher mereka. Perempuan yang menggunakannya ini pun tidak begitu ramai, bahkan sedikit sukar didapati.
Pada tahun 80-an ke atas jilbab baru mulai muncul dan diberlakukan di sekolah-sekolah, kemudian penggunaanya ini hanya pada saat acara tertentu saja, seperti saat sedang sekolah setelah itu kembali mereka tanggalkan. Bisa jadi ada yang beranggapan bahwa mereka bukan seorang santri, memang di waktu itu kebanyakan perempuan yang menggunakan jilbab dan berpakain Muslimah dalam hal ini gamis, sudah dapat dipastikan mereka adalah santriwati yang pernah sekolah di pondok pesantren.
Marak dan meningkatnya berjilbab saat ini menunjukkan trend positif, bahwa perempuan mulai dari anak kecil, dewasa sampai tua,  memiliki kesadaran dalam beragama sebagai seorang perempuan Muslimah, yang seharusnya menjaga kehormatan dirinya dengan cara menutup aurat, baik mereka seorang santri dalam hal ini pernah mondok maupun santri/murid di sekolah umum hingga mahasiswa. Hal ini dapat  ditemukan dimanapun, baik di tempat kerja bahkan di fasilitas umum.
Penggunaan jilbab ini memang sempat dilarang pada Negara tertentu, seperti Perancis melarang penggunaan jilbab pada sekolah-sekolah mereka, sebab dalam pandangan mereka jilbab adalah simbol agama, seperti salib, jilbab dan kippah (topi Yahudi). Peraturan tersebut tidak hanya berlaku pada mereka yang beragama Islam saja. Bahkan agama Khatalik yang merupakan mayoritas dari masyarakat mereka juga mendapatkan perlakuan yang sama. Sebab Negara Perancis memegang peraturan memisahkan negara dengan agama dan ini sudah berlaku sejak tahun 1905. Namun begitu, Negara Perancis yang dikenal sekularisme ini tetap saja memberikan kebebasan dalam beragama terhadap masyarakatnya.
Kendati demikian, bagi umat Islam peraturan tersebut tetap saja melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga memicu kemarahan besar bagi Negara berpenduduk mayoritas Islam di dunia, begitu juga mereka yang bukan beragama Islampun turut mengecem larangan tersebut.Â
Hal senada dilontarkan oleh tokoh sekaligus ulama besar Petinggi al-Azhar Cairo, Sayyid Muhammad Tanthowi itu memberikan pernyataan yang mendukung peraturan Negara Perancis tersebut, menurutnya Negara Perancis sah saja melakukan peraturan tersebut jika hal itu dinilai baik bagi negaranya. Sehingga atas pernyataan tersebut menimbulkan protes dan desakan besar dari berbagai kalangan Muslim.
Bahkan di Indonesia pun pernah mengalami hal yang sama, Seorang ulama tafsir Prof. M. Quraish Shihab juga mendapat cibiran, hal ini terjadi atas kesalahpahaman pembaca atas tulisannya, "ketidakharusan berjilbab" hal ini dapat dilihat pada Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (M. Qurasih Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah). Namun isu "ketidakharusan berjilbab" ini tidak begitu mencuat di kalangan akademisi, yang penulis maksud dalam hal ini sikap para dosen dan mahasiswa terkait tulisan Prof M. Quraish tersebut terbilang biasa saja bahkan lebih terbuka. Tidak seperti di masyarakat luas, yang ramai mencibirnya ada yang menggunakan cara bijak bahkan ada yang terlewat batas sampai mengkafirkan. Tetapi  di akademisi keagamaan, isu ini sangat intens dikaji oleh para  mahasiswa dalam penelitiannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat Muslimah Indonesia dalam berjilbab. Sebagaimana penulis singgung di atas, faktor utama maraknya perempuan menggunakan jilbab atau busana Muslimah ini adalah merupakan kesadaran diri mereka dalam beragama. Tentu saja keputusan berjilbab ini dipengaruhi oleh QS. Â An-Nur: 31 dan al-Ahzab; 59 yang memiliki legitimasi yang kuat terhadap penggunaan jilbab ini adalah perintah agama yang wajib yang sudah seharusnya dilaksanakan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Faktor kedua, di pengaruhi oleh budaya, sebagaimana penulis singgung diawal, berjilbab pada perempuan Muslim Indonesia, sebelumnya penggunaan jilbab ini hanya dimaknai sebatas kain yang menutupi kepala dan terlihat longgar. Pada masyarakat waktu itu jilbab jenis ini merupakan identitas untuk menunjukkan status masyarakat tertentu. Kemudian pemakaian jilbab ini tidak hanya merupakan kewajiban agama namun juga disebabkan oleh keharusan tradisi. Baik itu tradisi sebuah keluarga maupun tradisi pendidikan pesantren.
Faktor ketiga, Trend atau gaya hidup. Di samping jilbab adalah perintah agama, faktor ketiga ini juga memberikan pengaruh cukup besar dalam maraknya perempuan Muslimah Indonesia berjilbab. Tidak jarang perempuan yang biasanya enggan menggunakan jilbab kemudian tergerak hatinya untuk hijrah, lantaran jilbab begitupun gamis masa kini sudah sangat jauh bertransformasi mulai dari jenis kain yang digunakan, perpaduan warna yang apik, model yang unik, sehingga terlihat sangat menarik dan perkembanganya pun terus menyesuaikan modernisasi dari masa ke masa. Bahkan non-Muslim pun pada momen tertentu juga tertarik untuk berjilbab. (Jurnal Ushuluddin dan Filsafat, El-Waraqoh 2017)
Dari ketiga faktor di atas, tentu faktor pertama yang lebih mempengaruhi sisi spiritual dalam menggunakan jilbab atau pakain yang menutup aurat ini. Landasan awal mereka dalam menggunakannya karena perintah Allah, sehingga mereka tidak mudah menanggalkannya hanya karena takut jelek atau tidak modis. Sekalipun jilbab jenis tersebut sudah ketinggalan zaman namun masih layak digunakan maka mereka tidak akan malu untuk mengunakannya kembali. Namun penggunaan jilbab yang dipengaruhi oleh tradisi apalagi mengikuti trend, tidak begitu mempengaruhi sisi spiritual keimanan mereka, terlihat jelas tidak sedikit yang pernah nyantri kemudian melepas jilbabnya apalagi bagi mereka yang hanya mengikuti trend atau gaya.