Sebagaimana disebutkan dalam artikel penulis sebelumnya yang berjudul Pernikahan Dini: Bahaya dan Dampaknya, "menikah bukan saja menjadi keharusan yang ditunaikan oleh setiap orang, agama apa pun memerintahkan umatnya untuk menikah dan menjalin kisah kasih dengan pasangannya. Bahkan dalam agama Islampun, menikah dapat menyempurnakan sebagian dari 'setengah' agamanya dan sudah barang tentu itu merupakan ibadah yang tak ternilai pahalanya".
Seperti halnya bunyi hadits Nabi berikut ini, "... dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa saja yang tidak mengamalkan sunnahku, berarti bukan dari golonganku." (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401). Bahkan Allah pun mempertegas dengan menjamin mereka, sebagaimana firman-Nya "dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas dan maha mengetahui" (QS. An-Nur: 32).
Kendati demikian, bahwa pernikahan itu sangat dianjurkan. Namun agar pernikahan yang dimaksud benar-benar dapat memenuhi setengah dari agamanya itu, maka perhatikan juga ayat dan hadits Nabi yang lain, seperti bunyi potongan hadits berikut ini "... Dan barang siapa yang belum mampu menikah maka berpuasalah karena puasa akan menjadi benteng baginya. (HR. Muttafaquh Alaih). Begitupun bunyi lanjutan dari pada (QS. An-Nur: 33) di atas. Itu artinya menikah tidak perlu dipaksakan jika dirasa belum cukup memiliki kemampuan.
Walaupun begitu, sebagaimana bunyi redaksi ayat di atas maka dalam hal ini pemerintah juga memiliki kewenangan untuk menikahkan masyarakatnya yang tidak memiliki kemampuan, terutama dari segi materi. Tentu yang bersangkutan telah diketahui sudah layak untuk menikah seperti umur yang sudah memenuhi batasan yang telah ditetapkan pemerintah, dan juga diketahui dapat saling bertanggung jawab, seperti ada kemauan yang gigih untuk berusaha memenuhi hak dan kewajiban masing pasangan dan keturunannya kelak.
Namun demikian, tidak patut juga bagi seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang telah berumur dewasa berleha-leha dengan waktunya tanpa ada usaha dalam memenuhi kekurangan itu, apalagi pada waktu yang sama tanpa ada kewajiban lain yang begitu menghalanginya. Padahal disamping itu waktu terus berjalan dan umurpun terus bertambah.
Jika melihat fenomena pernikahan yang tengah terjadi di masyarakat dewasa ini, entah itu karena gengsi jika digelar tampak sederhana, atau iri melihat teman yang telah melangsungkan pernikahannya yang mungkin dilaksanakan tampil penuh dengan kemewahan, seperti mahar nikah yang tidak biasa saja, bahkan pesta pernikahan bila perlu digelar dari pagi sampai malam. Maka, mungkin saja karena semua itu dianggap perlu mematok nominal tertentu.
 Namun terkadang hal ini terlalu dipaksakan tanpa mempertimbangkan kadar kemampuan dari keluarga besar calon suami. Seperti halnya berita terkait kegagalan pernikahan yang dialami oleh saudara Riyan, yang seharusnya melepas masa lajangnya sudah di depan mata bahkan hanya tinggal menghitung hari saja. Namun dengan terpaksa harus menerima kenyataan pahit, pernikahan tersebut batal terlaksana lantaran dari pihak keluarga besar Ryan tidak dapat memenuhi permintaan mahar dari calon istrinya itu, yakni berupa sertifikat rumah. (Merdeka.com 03/12/2022).
Melihat peristiwa di atas, sepertinya dalam melepas masa lajang ini tidak mudah bagi sebagian orang. Ada beberapa hal dan mungkin banyak hal yang perlu dipersiapkan, namun terkadang hal itu bisa saja diluar batas kemampuan mereka. Seperti halnya mahar nikah, ia harus ada dan diketahui pada saat prosesi akad nikah, bahkan dalam mazhab Syafi'iyah mahar nikah/ mas kawin disunnahkan dapat disebut dalam (akad) ijab qabul. Walaupun begitu, menurut mazhab lainnya jika tidak disebutkan hukumnya tetap sah. Belum lagi ditambah dengan permintaan atau perlengkapan lainnya juga harus dihadirkan.
Hal inilah sebenarnya bagi sebagian orang menjadi momok menakutkan ketika hendak melamar pujaan hatinya. Sebab, sulitnya dalam memenuhi permintaan dari calon istri ini, terkadang bisa saja menjadi kekhilafan bagi calon suami itu sendiri, seperti tidak sulit ditemukan di media masa saat ini. Misalnya, seorang pria dengan berani merampok atau dengan sadisnya membegal dengan cara merenggut nyawa orang lain.
Belum lagi dipaksa oleh keadaan, orang tua sampai rela berkorban di luar kemampuan dirinya dengan meminjam uang puluhan juta bahkan sampai ratusan juta rupiah, agar pernikahan anaknya itu dapat segera terlaksana. Dan yang terpenting jangan sampai pula karena sulitnya memenuhi permintaan itu semua mengakibatkan terjadinya pernikahan yang tidak semestinya, yakni nikah sirri dalam konteks nikah lari.
Sebetulnya tidaklah salah, baik meninggikan nilai mahar ataupun permintaan lainya, selama hal itu tidak terlalu memberatkan calon suami dan juga keluarga besar dari calon suami berlapang dada untuk menyanggupi, serta selagi sesuai dengan tradisi di daerah setempat. Tetapi janganlah mengatasnamakan adat setempat kemudian tidak menerima kecuali dapat memenuhi permintaan yang telah mentradisi itu (adat). Hemat penulis, itu benar tetapi kurang tepat pada kondisi tertentu. Baiknya janganlah sampai aturan syari'at terhalang kemudahannya untuk terlaksana apalagi sampai gagal hanya terlalu erat memegang aturan adat, bukankah syari'at adalah aturan Tuhan yang jauh lebih tinggi. Sebagaimana orang bijak berkata "adat dipangku syari'at dijunjung".