Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa bagaimana pun usia ideal pernikahan terutama untuk perempuan adalah di atas 21 tahun. "Perkawinan usia muda akan memunculkan berbagai risiko bagi pasangan pengantin. Begitu pun risiko bagi bayi yang akan dilahirkan" ucapnya. Tak hanya berdampak pada psikologis, pernikahan usia muda juga bisa memicu sejumlah masalah kesehatan, khususnya pada perempuan. Berikut beberapa dampak kesehatan menurut Hasto Wardoyo, yakni:
  Pertama, sebuah studi menunjukkan adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka kejadian stunting. Semakin muda usia ibu saat melahirkan, semakin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak stunting. Stunting merupakan kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak. Tak hanya tubuh pendek, stunting juga memiliki banyak dampak buruk untuk anak (MCN, 2009).
  Kedua, kondisi panggul yang sempit membuat persalinan jadi macet. Tak hanya itu, kondisi ini bahkan memicu risiko kematian saat melahirkan. "Kondisi panggul yang sempit mengancam kematian," ujar Hasto. Hasto mengatakan, saat usia remaja seperti 16 tahun, diameter panggul perempuan baru selebar 8 cm, sementara ukuran kepala bayi mencapai 9,8 cm. Ukuran panggul baru akan membesar pada usia 19-21 tahun.
  Ketiga, risiko kematian pada perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal dunia lima kali lebih besar selama kehamilan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara pada usia 15-19 tahun, perempuan memiliki risiko kematian dua kali lebih besar saat hamil. Tak hanya itu, proses kehamilan dan persalinan juga akan terasa lebih menyakitkan dari biasanya. Yang mana, saat hamil terlalu muda, perempuan berpotensi mengalami robek mulut rahim saat proses melahirkan yang menimbulkan ancaman pendarahan serta kematian.
  Keempat, menikah pada usia terlalu dini membuat perempuan berisiko tinggi terhadap perkembangan kanker mulut rahim atau serviks. Di usia remaja, sistem reproduksi perempuan belum berkembang secara sempurna sehingga menjadi rentan. Kanker serviks sendiri merupakan kanker atau adanya pertumbuhan abnormal pada sel-sel di leher rahim. Kanker ini tak memperlihatkan gejala pada tahap awal. Gejala baru muncul saat sel kanker sudah mulai menyebar.
  Kelima, mengganggu pertumbuhan tulang, perempuan yang hamil pada usia muda berisiko mengalami pertumbuhan tulang yang terhenti. Tulang juga menjadi cenderung keropos. Menurut Litbang CNN TV, di usia menopause karena nikah muda bisa menjadi bungkuk, mudah patah tulang, dan menjadikan usia tua tidak produktif.
  Dampak negatif nikah muda lainnya juga dapat seperti putus sekolah, akan lebih berpeluang mengalami KDRT, dan sudah barang tentu akan mengurangi keharmonisan dalam rumah tangga, dan bahkan dapat berakhir pada perceraian. Tentunya hal ini disebabkan oleh cara pola pikir yang belum matang. Di samping itu, hal ini bisa diperparah dengan adanya ego yang tinggi dan kurangnya rasa tanggung jawab pada rumah tangga.
  Nikah muda bukanlah satu-satunya solusi untuk menghindari terjadinya perbuatan tercela pada anak dan kesulitan ekonomi pada orang tua. Namun faktanya nikah muda banyak menimbulkan persoalan yang lebih kompleks bagi anak dan orang tua.
  Memang tidak menutup kemungkinan ada yang menikah muda yang harmonis. Akan tetapi peluang itu sangatlah kecil sekali dan tetap saja hal itu tidak dapat dibenarkan baik dalam pandangan agama dan peraturan pemerintah. Dan perlu penulis tegaskan, hal itu tidaklah cukup dan sangat tidak kuat untuk dijadikan alasan melakukan menikah muda. Karena dampak-dampak negatifnya hingga saat ini telah menjadi realitas hitam sosial yang sepatutnya kita atasi bersama-sama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H