Penciptaan perempuan bukanlah topik yang baru dan belum juga usang ditelan waktu, bahkan merupakan topik yang masih sangat hangat diperbincangkan baik dikalangan awam sampai pada kalangan terdidik di masa kini, khususnya bagi pemerhati perempuan. Â Â Â Â Â
Di Indonesia sendiri, pembahasan tentang perempuan ini mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa, sebagaimana Prof. Nasaruddin Umar atas kegelisahannya tentang pandangan, yang memarjinalkan perempuan sebagai second dalam hal spritual dan sosial, kemudian lahirlah sebuah karya Argumen Kesetaraan Jender Dalam Perspektif Al-Qur'an yang memberikan jawaban atas kegelisahannya itu, serta menepis pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan.
Begitu juga dengan ulama tafsir Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab yang menulis buku tentang "Perempuan, dari cinta sampai bias baru", ada lagi buku yang lebih spesifik "Seni Memahami Wanita" karangan Claudia Sabrina dan masih banyak lagi. Sepertinya membicarakan perempuan ini memang tiada habis dan ujungnya, dari keunikan sifat yang ditanamkan Allah SWT pada diri perempuan sampai asal mula penciptaannya begitu sulit untuk dipahami bahkan menimbulkan kontroversi.
Namun dalam artikel yang sedang anda baca ini, penulis sedikit sekali menyinggung sifat perempuan dan hanya akan fokus membahas, serta menguraikan persoalan asal mula penciptaan perempuan dalam pandangan ulama tafsir. Semoga tulisan sederhana yang jauh dari kata sempurna ini dapat memberikan jawaban.
Penciptaan, menurut Mangunsuwino dalam bukunya yang berjudul, (Kamus Saku Ilmiah Populer, 2011). Penciptaan manusia itu berasal dari kata penciptaan dan manusia. Penciptaan berakar dari kata cipta yang mendapat imbuhan pe- dan --an, sedangkan cipta sendiri dapat diartikan sebagai akal, daya pikir dan imajinasi.
Begitu juga cipta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kesanggupan, pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, angan-angan kreatif, sedangkan penciptaan dapat diartikan proses dan perbuatan cara menciptakan.
Perlu diketahui juga terkait penciptaan manusia ini, bahwasannya Allah telah menciptakan manusia dengan empat model penciptaan, Model yang pertama, Allah menciptakan Adam AS tanpa ayah dan ibu. Model kedua, Allah menciptakan setelah di sampingnya ada lelaki yaitu Hawa. Model ketiga, Penciptaan Isa AS dari seorang ibu tanpa ayah. Model keempat, Allah menciptakan manusia melalui pertemuan lawan jenis yakni laki-laki dan perempuan. Dari model satu sampai ketiga, hanya model keempatlah yang sangat terperinci dijelaskan dalam Al-Qur'an. Sehingga melahirkan banyak pandangan yang berbeda-beda.
Setelah dipahami makna "penciptaan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sampai dengan empat model penciptaan. Disinilah penulis akan mencoba menuangkan masalah yang sedikitnya telah disinggung di atas. Adapun persoalan yang dimaksud, terdapatnya perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap ayat dan hadits terkait asal mula penciptaan perempuan sehingga menimbulkan pandangan kontroversi di masyarakat.
Akibat dari salah satu pandangan tersebut melahirkan pemikiran dari kelompok awam yang memarjinalkan perempuan hanya karena kurang pemahaman akan dalil itu. Padahal hakikatnya Al-Qur'an tidak akan pernah salah dan untuk hadits pun begitu dengan catatan hadits tersebut sudah memenuhi lima syarat kesahihan hadits.
      Sebenarnya dalil yang digunakan para ulama tafsir dalam menafsirkan asal mula penciptaan perempuan ini, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Khurairah dan QS. An-Nisah ayat 1, Allah berfirman : "wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya. Dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki-dan perempuan yang banyak".
      Menurut Ibnu Katsir dalam (Tafsir Al-Qur'an, Juz. 1) menyatakan, bahwa Allah berfirman dengan memerintahkan kepada seluruh manusia agar bertakwa kepadaNya, yang dengan kekuasaanNya telah menciptakan istrinya Hawa dari tulang rusuk Adam sebelah kiri dari arah belakang ketika Adam tertidur. Terlihat jelas pandangan Ibnu Katsir ini sejalan dengan karakteristik penafsiranya yang secara tekstual, selama dapat difahami secara rasional.