Saat beraktivitas di halaman internet yang lain, tidak jarang kita temukan berbagai informasi-informasi yang positif atau yang negatif terhadap narasi islam nusantara (Isnu). Terkait yang negatif, barangkali hal itu terjadi karena pemahaman (hipotesis) yang dilakukan tanpa sebuah penyelidikan yang teliti sehingga kesimpulan kesimpulan yang muncul menjadi tidak tepat.
Beberapa tahun yang lalu saat masih aktif di PMII saya pernah diajak mengikuti "dialog kebudayaan" yang diselenggarakan oleh LESBUMI sulut di manado, dalam dialog tersebut islam nusantara menjadi salahsatu topik yang dibahas.
Terkait dialog dan topik tersebut banyak pelajaran dan persoalan menarik yang muncul, juga pesertanya dari berbagai kalangan. Seorang orientalis asal eropa dia mengenalkan dirinya kepada seluruh audiens---dia memberikan apresiasinya dan mengaku terpesona dengan narasi islam nusantara sekaligus tidak lupa mempertanyakan narasi islam nusantara---kepada narasumber dia mengajukan tanya, apakah islam nusantara adalah sebuah nostalgia sejarah saat islam berinteraksi dengan kebudayaan nusantara, ataukah islam nusantara adalah sebuah narasi alternatif (counter narrative) terhadap fakta ekstremisme islam yang merupakan salahsatu tantangan sosial abad 21, ataukah islam nusantara merupakan sebuah narasi yang hanya merepresentasikan superioritas satu subkultur tertentu (jawasentrisme) diantara realitas majemuk (multikulturalsm) kebudayaan nusantara serta bagaimana kemudian pengembangan islam nusantara secara universal dan bagaimana pula ikhtiar islam nusantara untuk bertahan di zaman kini sekaligus (dinamism) berproses kedepan(?). Sebagai peserta awam, beberapa hal-hal tersebut kurang lebih merupakan persoalan-persoalan penting yang saya catat sepulang dari kegiatan tersebut.
Islam nusantara secara umum barangkali wacana keislaman yang relatif baru, pergaulan saya pribadi dengan wacana (isnu) terhitung kurang lebih sepuluh tahun terakhir---selain islam multikultural, Islam moderat, islam liberal, islam kiri---waktu itu islam nusantara ramai dibahas dilingkaran kecil kelompok-kelompok kajian saat menjadi anggota PMII komisariat IAIN Manado, PMII di Manado.
Isnu sebagai diskursus saat ini mungkin masih sedang diuji (testability) dan dikembangkan, pembahasan Isnu kurang lebih menggambarkan "corak keberislaman" yang dihayati oleh sebagian besar masyarakat muslim nusantara, Islam nusantara membuat distingsi bukan dikotomi (chauvinism), distingsi antara islam yang berkembang di nusantara dengan islam yang berkembang di negeri-negeri lain terutama di timur tengah atau di dunia barat.
Kenapa harus dilakukan distingsi bukankah islam itu pada dasarnya sama? Sebab konteks atau dinamika sejarah islam di nusantara sangatlah unik, ajaran prinsipil dan normatif universal islam tetap sama---Quran dan Sunnah atau prinsip umum seperti prinsip Kesatuan (Tauhid & monoteism), toleransi dan keterbukaan (tassamuh), etika (al-adab), lingkungan hidup & ekologis (hablum min alam), keseimbangan (Tawazun), Klarifikasi & verifikasi informasi (Tabayyun), egaliterianisme (al-musawah), refleksi (muhasabbah), penalaran objektif & saintifik (al-fikr), kemaslahatan & kesejahteraan (al-maslahah al-ammah), kreatifitas & inovasi (bid'ah al-khazanah), kemerdekaan (al-hurriyah), moderat (Tawasuth), Kemanusiaan & Ham (al-Basriyyah), cinta kasih (Mahabbah), ketenangan & keanggunan (Tawwadhu), kebhinekaan (Ta'aruf), demokrasi (al-syura), keteguhan (i'tidal), kooperatif (Ta'awun), cinta damai dan harmoni (al-Takaful al-Ijtima'I), kebersamaan keislaman (ukhuwah islamiyah), kebersamaan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah), kebersamaan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), masyarakat madani (al-madani), Pertengahan (tawwasuth)---yang berbeda adalah dinamika dan proses-proses kongkrit yang eksis dalam sejarah perjumpaan ajaran islam dan realitas kenusantaraan sehingga membentuk karakteristik muslim nusantara saat ini, dan hal demikian itu yang dimunculkan oleh narasi islam nusantara.
Keunikan tersebut ilmiah secara sosiologis-antropologis-budaya, Arief budiman seorang sosiolog nusantara mengatakan bahwa ciri masyarakat sangatlah majemuk, Orang jawa memiliki cita rasa tersendiri yang berbeda dari orang timur indonesia, begitu juga dengan orang indonesia secara keseluruhan memiliki cita rasa yang berbeda dari orang-orang di dunia barat, pun juga orang-orang di dunia timur tengah. Selain mengakui adanya pluralisme sebagai suatu kenyataan sosiologis, islam nusantara juga tidak menolak adanya universalisme.
Senapas dengan narasi islam nusantara, Abdurahman wahid dalam pribumisasi islam---konon Ir. soekarno mengistilahkannya sebagai ketuhanan yang berkebudayaan---
menulis bahwa pribumisasi islam bukanlah jawanisasi atau sinkritisme, sebab pribumisasi islam hanya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan lokal indonesia didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma-norma keagamaan demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash al-quran, jadi semacam kolaborasi antara doktrin islam dan realitas kekinian dan kedisinian atau kenusantaraan (dinamism).
Karena islam yang berkembang di nusantara memiliki corak yang unik yang berbeda dari islam yang berkembang di negeri lain, keunikan tersebut bisa ditinjau dari berbagai aspek diantaranya islam masuk di nusantara dengan cara yang manusiawi, ramah dan penuh kedamaian (akulturasi/asimilasi) bukan penaklukan seperti yang terjadi di beberapa negeri timur tengah, bukan pula peperangan atau penjajahan tapi perdagangan, Islam yang diajarkan oleh para walisongo adalah islam yang toleran, yang mengakomodasi budaya masyarakat lokal (local wisdom), islam yang berkembang dengan bijaksana, kreatif bahkan humoris, dakwah dengan pendekatan sufistik yang humanis persuasif, dan tidak menciptakan bahaya (anarkism) tetapi justru menghidupkan khazanah kemanusiaan, keilmuan, agama dan seni budaya masyarakat nusantara, maka generalisasi islam yang gegabah tidak pada tempatnya (a-historis) akan dapat menimbulkan pemahaman terhadap islam secara gegabah pula.
Baru secara diskursus tapi sebetulnya islam nusantara bukan hal baru sebagai fakta sosial karena pada dasarnya islam nusantara telah menubuh (way of life) pada masyarakat muslim nusantara. Jauh hari sebelum narasi islam nusantara muncul, sebelum Samuel huntington (1989) menerbitkan tesis tentang benturan peradaban (clash of civilization)---sebelum intoleransi, kekerasan ekstrimisme, neotakfirisme muncul yang ditandai oleh tragedi Wtc di New york 11 september 2001, tragedi bom di Madrid 2004, bom di london 2005 (homegrown terrorism), tragedi bom di bali, tagedi tolikara, manokwari, singkil, madura, surabaya, sintang, makassar 2021 dan sebagainya---faktanya keberadaan islam nusantara telah hidup dan berkembang di nusantara kurang lebih sejak empat belas abad yang lalu saat islam pertamakali menginjakkan kaki di bumi nusantara.
Oleh sebab itu maka dapat dikata bahwa kita adalah orang nusantara yang memeluk agama islam dan bukan orang islam yang kebetulan tinggal di indonesia sehingga antara keislaman dengan keindonesiaan---mesti dibedakan---tidak lagi mesti dipertentangkan.