Sebatang lilin yang dihidupkan dapat menerangi satu meja saat listrik mati. Satu buah lampu yang dinyalakan dapat menyinari satu ruangan. Sedangkan api unggun di lapangan tak hanya membuat suasana semakin terang, tapi juga menghangatkan dan menjaga kebersamaan. -NeimaAgni
Layaknya lilin, lampu, dan api unggun, begitulah makna sebuah pepatah Jawa "Urip iku Urup".
Urip artinya hidup, iku artinya itu, dan urup artinya menyala. Apabila digabungkan maka arti dari "urip iku urup" adalah "hidup itu menyala".
Rumah yang megah akan terlihat begitu gelap dan menyeramkan tanpa sebuah penerangan. Jalanan aspal yang hitam akan mengantarkan kita pada jurang apabila tidak ada penerangan. Begitu juga dengan kendaraan yang berjalan di malam hari tanpa penerangan bisa saja akan menabrak sesuatu di depannya. Karena itu, rumah, jalanan, dan kendaraan harus memiliki penerangan supaya tidak terlihat seram dan aman.
Lantas, apa hubungannya penerangan dengan kita sebagai manusia?
Kadang kita bisa saja "lupa", bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh bantuan orang lain untuk menerangi jalan menuju masa depan.
Misalnya Ani hari ini masuk kerja jam 07.00, tapi bangunnya jam 06.00. Padahal, jarak dari rumah menuju tempat bekerja adalah 60 menit dengan menaiki angkot. Wah, kesiangan jadinya. Jadi hanya menyempatkan 5 menit untuk mandi dan 5 menit untuk makan. Sudah buru-buru, ternyata angkotnya tidak kunjung lewat depan rumah padahal ia sudah 10 menit menunggu.
Akhirnya ada tetangga yang menawari tumpangan karena mau ke suatu tempat dan kebetulan melewati tempat Ani bekerja. Ani merasa lega, karena dengan menaiki sepeda motor, perjalanannya menjadi lebih singkat yakni 30 menit. Ia pun tidak jadi terlambat bekerja.
Kisah Ani menjadi contoh bahwa manusia membutuhkan manusia lain untuk menerangi jalan menuju masa depan. Tetangganya pun menjadi contoh praktik "urip iku urup".