Senyumnya tipis menggoda, berjalan seperti angin, berlari seperti api. Sorot bola matanya yang kecokelatan memberi kesan terbaik untuk seseorang dengan rambut hitam pirang di depannya. Ia tidak pernah lupa, bersama setangkai daun beserta kelopak dan batangnya untuk  ia berikan pada perempuan itu.
Genggaman tangannya kini semakin erat, memberi kesan tangkas seorang pemuda yang akan berperang. Tapi, kali ini bukan untuk itu ia datang. Untuk perempuan itu ia datang, agar  tidak terjamah oleh pemuda lain, dan ia bisa melindunginya dengan gagah.
Ya, pemuda dari desa seberang dengan sabit di tangannya. Bukan nyawa yang ia cari, tapi seikat daun untuk nyawa-nyawa yang dipeliharanya. Meski selalu sabit yang dibawanya kemanapun, perempuan berambut pirang itu tidak malu, apalagi berkata yang tidak sesuai. Memang semestinya harus demikian. Bukan sekadar jatuh pada pandangannya, tetapi juga apa yang menjadi kebiasaannya.
Mega, sang perempuan dan pemuda dengan sabitnya, sebut saja Halilintar. Mereka berdua sejak kecil bersama, bahkan saat di dalam kandungan. Entah apakah kedua orangtua mereka berbuat janji lebih dulu, sehingga mereka lahir di waktu, hari, bulan, tahun, dan tempat yang sama? Lagipula, siapa yang akan tahu jawaban dari rahasia yang direncanakan ini.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H