"Otomatis PKS keluar dari koalisi dalam keadaan kotor. Mengapa disebut demikian? Karena—ah, inilah cerdiknya SBY—internal PKS dibiarkan terlebih dahulu saling “cakar” di muka publik, terpecah, nah, baru pemberitahuan dikeluarkan dari koalisi tersebut disampaikan, pertama-tama melalui pihak istana pada salah satu menteri asal PKS, sekitar pertengahan pekan lalu."
ini adalah asumsi liar yang dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan yang absurd.
lalu asumsi lain
"Sebagaimana diketahui bersama, Menkominfo asal PKS, Tifatul Sembiring menyatakan pada media, bahwa ia telah berkonsultasi dengan Ketua Dewan Syuro PKS Ustad Hilmi Aminuddin, dimana Ustad Hilmi setuju dengan kenaikan harga BBM.
Dari peristiwa ini PKS terlihat tidak kompak atau pecah dari dalam."
saya tak perlu banyak komentar ttg asumsi liar ini, silakan baca sendiri penuturan jazuli juwaini sebagai anggota majelis syuro
"Anggota Majelis Syuro lainnya, Jazuli Juwaini menambahkan, pertemuan Majelis Syuro tak akan mengubah sikap PKS terhadap rencana kenaikan harga BBM. "Kalau sikap soal BBM kami sudah jelas, konsekuensi dari sikap itu yang akan dibahas.""
lalu penulis artikel itu mengatakan
"Kajian terukur dan ilmiah selama ini telah membuktikan dengan telak. Bahwa subsidi harga BBM yang diberikan pemerintah selama ini lebih banyak dinikmati kalangan menengah ke atas yang memiliki kendaraan roda empat atau lebih. Jadi, penolakan PKS terhadap kenaikan harga BBM bukan berdasarkan alasan faktual-ilmiah, melainkan murni alasan politis."
apakah benar demikian?
lalu bagaimana dengan temuan fakta yang menyatakan bahwa Pemerintah sebenarnya menggunakan dana utang asing untuk membiayai subsidi kompensasi kenaikan harga BBM ke masyarakat?
seperti di rilis republika dalam link berikut http://rmol.co/news.php?id=113443
ketika dituduhkan bahwa penolakan PKS murni alasan politis, maka saya sarankan lihat keputusan PKS sebelumnya juga menolak kenaikan harga BBM. maka itu adalah tuduhan yang tak berdasar.