Membaca Ulang D-E-S-A-/-K-E-L-U-R-A-H-A-N-B-U-D-A-Y-A, adalah mengeja dari hal yang paling awal, yaitu tentang  definisi Kalurahan Budaya? Bentang apa saja yang dimiliki oleh Kalurahan tersenut ? dan Permasalahan apa yang selama ini menghambat bagi ekspetasi dan akselerasi Budayanya pada era dan setelah pandemi Covid-19. Menurut Peraturan Gubernur Nomor 36 tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budya, sebagaimana termaktub dalam pasal 1 huruf 2, Desa/Kalurahan Budaya adalah desa atau kelurahan yang mengaktualisasikan, mengembangkan dan mengkonservasi kekayaan potensi budaya yang dimilikinya yang tampak pada adat dan tradisi, kesenian, permainan tradisional, bahasa sastra, kerajinan, kuliner, pengobatan tradisional, penataan ruang, dan warisan budaya.
Terkait pemetaan  potensi yang dimiliki oleh Desa, dapat diperdalam melalui analisa bentang meliputi : bentang alam, bentang sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, teknologi, pasar, dan SDM di cantolkan dengan potensi budaya apa yang diatur oleh Peraturan Gubernur Nomor 36 tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya yaitu adat tradisi, kesenian, permainan tradisional, bahasa sastra, kerajinan, kuliner, pengobatan tradisional, penataan ruang dan warisan budaya. Dengan kombinasi dua cara pandang yaitu pemetaan bentang dan Peraturan Gubernur Nomor  36 tahun 2014, menurut saya akan diperoleh pemetaan yang integral, sustain dan  kolektif, yang akan menjadi PR bersama semua stake holder ( Pemerintah Desa : RT/Dukuh/BPD/Lurah beserta pamongnya, Pegiat Desa Budaya, Akademisi, Pebisnis/Swasta, dan Media).
Untuk mengurai semua permasalahan Desa/Kelurahan Budaya yang cenderung mengalir saja :  seperti hidup enggan mati pun tak mau, apakah pola pendampingan yang sudah dilakukan oleh Pendamping Desa Budaya sudah baik dan benar belum? Sehingga harapannya keberadaan Pendamping Desa Budaya benar-benar dapat menjawab (problem solving) semua permasalahan yang di hadapi oleh pengurus Desa  Budaya dalam berkreasi dan berinovasi terhadap "proses budaya" yang sebenar-benarnya, bukan hanya sekedar pemanis atau lipstik belaka dan hanya sekedar formalitas untuk menggugurkan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi  sebagai Desa/Kelurahan Budaya tetapi tidak sampai pada  aspek nurani dan ruhani yang benar-benar harus melakukan proses "life-cycle budaya" secara nyata apa adanya (tidak mengada-ada).
Ketika proses "life-cycle budaya" tidak secara ikhlas dibangun dengan jiwa gotong royong , demi  tujuan mulia melestarikan warisan para leluhur, kemudian secara kolektif/komunal dibicarakan bersama melalui musyawarah untuk mufakat,  dan dilakukan bersama-sama  (collective collegial) bukan sendiri-sendiri, serta di dukung media  serta teknologi informasi yang mendukung  kearah kreasi dan inovasi,  bukan hanya sekedar mendapatkan "kekancingan"  Desa/Kelurahan  Budaya,  tetapi dapat dipertanggung jawabkan sebagai kepada manusia maupun  Tuhan, Allah SWT.. Jadi tidak main-main karena disamping  pertanggung jawaban kepada sesama manusia, ada yang lebih berat lagi pertanggung jawaban kepada Sang Pencipta juga.
Membaca Ulang DESA/KELURAHAN  Budaya, adalah memetatakan kembali potensi-potensi yang kudu bergerak walaupun dalam masa dan setelah pandemi Covid -- 19 , dengan pendekatan  IT  atau platform digital ( via Zoom/Webinar, atau gadget berbasis aplikasi Instagram, Facebook, Twitter, Whatsaap)  adalah solusi ketika interaksi langsung di batasi, tetapi kegiatan "life cycle budaya" tetap harus berjalan.
JUNAEDI,S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H