Kesehatan semesta  pertama kali saya dengar ketika menjadi tim RPJMDes Desa Panggungharjo tahun 2019. Kedua kalinya ketika perhelatan Kongres kebudayaan Desa melalui webinar seri 4 pada tanggal 2 Juli 2020, dengan mengangkat tema " Kesehatan Semesta : Menghadirkan Kembali Kesehatan yang Setara untuk Semua dari Desa.Â
Kesehatan semesta, tentu saja, merupakan istilah yang mengandung pengertian sedemikian luas, demikian menurut Dadang Ari Murtono dalam pengantar editor buku pengetahuan  yang berjudul "Kesehatan Semesta : Mengahadirkan Kembali Kesahatan yang Setara" terbitan Yayasan Sanggar Inovasi Desa. Kesehatan Semesta tidak hanya sekedar mendefinisikan makna sehat saja, tetapi bagaimana juga kita menata manajemen kesehatan.
Sebagaimana bunyi pepatah "Men Sana In Corpore Sano" yang berarti : di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Senada yang dituliskan oleh Ryan Sugiharto, ketua Yayasan Sanggar Inovasi Desa dengan tajuk "Kesehatan Semesta : Menempatkan Kembali kesehatan Jiwa dalam Ranah Kesehatan Manusia" bahwa untuk mencapai kesehatan 100% Â diperlukan olah tubuh (olah raga), olah pikir dan oleh rasa.
Olah rasa itulah yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaraman dan dalam terminologi yang populer kita kenal dengan kawruh jiwa. Kawruh jiwa disebut juga pengawikan pribadi  atau pengetahuan tentang diri sendiri. Artinya,  ketika berbicara tentang kawruh jiwa maka kita tidak berbicara tentang segala urusan yang berada di luar kita.
 Kawruh jiwa adalah ajaran psikologi yang dicetuskan oleh Ki Suryo Mentaraman, seorang pemikir dari Yogyakarta. Dalam menghadapi pagebluk, ajaran ini mengajarkan manusia agar sampai pada kondisi tatag atau tabah dengan cara mengetahui bahwa rasa manusia bergerak anatara getun dan sumelang. Getun adalah rasa takut terhadap peristiwa yang sudah terjadi sementara sumelang merupakan rasa takut terhadap peristiwa yang sudah terjadi.
Dengan mencoba menggali sejarah Jokowi, Darmawan Prasodjo dalam bukunya yang berjudul  "Jokowi Mewujudkan Mimpi Indonesia" menuliskan  sebagai anak desa, Jokowi dianggap gigih menimba ilmu, tabah menempuh pendidikan. Orang tuanya sadar betul bahwa hanya dengan memiliki ilmu dan ketrampilan, kemiskinan dapat teratasi. Untuk bisa menempuh pendidikan dengan baik, anak-anak harus sehat.Â
Untuk bisa sehat sehat mereka harus mendapatkan asupan gizi yang cukup. Â Telur, susu, ikan, dan daging bagi sebagian warga desa yang miskin adalah barang mewah. Jokowi memiliki pengalaman itu. Â Di zaman serba-susah, kegiatan selamatan atau kenduri menjadi momen penting. Ketika ada kenduri di desanya, warga desa bisa menikmati makan mewah.
Dengan pengalaman masa kecil, seperti itulah Jokowi berusaha keras memakmurkan warga miskin. Mereka yang telah bekerja sekeras-kerasnya, tetapi nasib mereka tetap sama saja. Untuk melengkapi Dana Desa, Jokowi mengeluarkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIS sendiri juga sangat klop dengan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan  Sosial Nasional (SJSN).
Untuk mereka yang paling miskin, Jokowi mengadopsi  dan memperbaiki Program Keluarga Harapan (PKH) . PKH adalah program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (PKM) yang ditetapkan sebagai keluarga menerima manfaat PKH.Â
Sebagai program bantuan sosial bersyarat, PKH membuka akses keluarga miskin terutama ibu hamil dan anak, untuk memanfaatkan berbagai fasilitas layanan kesehatan (faskes) dan fasilitas layanan pendidikan (fasdik). Manfaat PKH juga didorong untuk mencakup penyandang disabilitas dan lanjut usia.
Tetapi sangat disayangkan oleh Ryan Sugiharto sudut pandang kesehatan semesta dalam konteks negara hanya dimaknai sebagai jaminan kesehatan oleh negara. Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan semesta, merupakan target pemerintah Indonesia untuk mencakup seluruh penduduk Indonesia dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Â