Mohon tunggu...
Junaedi SE
Junaedi SE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Penulis Lepas, suka kelepasan, humoris, baik hati dan tidak sombong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Madani Intoleran (2)

9 Juli 2021   11:01 Diperbarui: 9 Juli 2021   11:06 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orasi Ilmiah Sidney Jones dalam kuliah umumnya pada Nurcholish Majhid Memorial Lecture VII tahun 2013 yang diberi judul "Sisi Gelap Reformasi di Indonesia : Munculnya Masyarakat Madani Intoleran",  dalam proses pengamatan di lapangan terkait  persoalan terorisme di Indonesia, Jones menemukan semakin banyak pelaku terorisme yang hijrah dari organisasi-organisasi anti-maksiat. Berbeda dengan organisasi teroris yang cenderung bergerak di luar koridor demokrasi, organisasi-organisasi ini bisa memanfaatkan ruang dan sarana yang disediakan demokrasi.

Kelompok mereka  biasanya sering  mempengaruhi kebijakan publik dengan mendesakkan pemikirannya terkait moralitas dan ortodoksi keagamaan. Meski membawa ancaman bahaya  laten terhadap demokrasi, tetapi prinsip demokrasi tidak memperbolehkan memperlakukan mereka dengan semena-mena. Adapun tantangan besarnya sekaligus  pertanyaan besar kuliah umum Jones, adalah bagaimana masyarakat demokratis ketika diversuskan   masyarakat  anti-demokrasi.

Secara umum studi pustaka demokratisasi digolongkan menjadi kelompok-kelompok semacam itu dalam kategori uncivil society, adalah kelompok masyarakat yang menikmati hak-hak politik namun tak mengindahkan norma sipil atau semangat keadaban yang  justru disandangnya (mis. Whitehead 1997). Seperti ditunjukkan studi Beittinger - Lee (2013) di Indonesia, uncivil society bisa mencakup banyak sekali kelompok, mulai dari organisasi teroris yang bergerak di luar pranata negara hingga organisasi paramiliter yang disponsori negara.  Diskusi mengenai definisi dan tipologi ini masih terus berkembang dan juga menjadi sorotan sejumlah tulisan di buku ini.

            Jones sendiri dalam hal ini membatasi analisisnya pada kelompok "masyarakat madani intoleran" yang ia golongkan ke dalam tiga jenis: kelompok main hakim sendiri; kelompok advokasi di tingkat lokal; dan, kelompok transformatif yang hendak mengganti sistem demokrasi. Masing-masing diilustrasikan Jones lewat Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Reformis Islam (GARIS) di Cianjur, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ketiga kelompok itu memiliki karakteristik dan implikasi berbeda, dan karena itu juga harus dihadapi dengan cara yang berbeda.

            Gagasan Jones mendapat tanggapan salah satunya dari M. Najib Azca, dosen dan peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.  Dia berargumentasi dengan perspektif  tipologi yang berbeda dengan  Jones. Azca membagi gerakan radikal ke dalam tiga jenis: pertama, varian saleh yang lebih berorientasi pada urusan moralitas; kedua, varian jihadis yang lebih berorientasi pada kekerasan; dan, ketiga, varian politik yang fokus memengaruhi kebijakan publik.

Termasuk dalam kelompok pertama dalah FKAWJ (Fatwa Jihad Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal  Jama'ah), Salafi dan Gerakan Tarbiyah. Kemudian yang termasuk dalam kelompok kedua adalah JAT (Jamaah Ansahrut Tauhid, JI dan DI. Dan yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah PKS, PPP, PBB, HTI dan FPI. Trayektori aktivis gerakan Islam radikal sangat terkait dengan tiga hal.

Pertama, legitimasi partisipasi dalam ruang publik; kedua, justifikasi penggunaan jalan kekerasan dalam mencapai agenda-agenda gerakan mereka; dan, ketiga, tipe-tipe afiliasi keanggotaan (Azca: 2011, 355). Lebih lanjut Azca mengajukan tiga trayektori gerakan Islam Radikal di Indonesia sebagai jejaringnya, yaitu core network (jejaring inti), tactical network (jejaring taktis) dan etended network (jejaring yang lebih luas).

Ada beberapa catatan menurut Azca, sehingga ia berbeda pendapat dengan Jones. Pertama, tidak semua kelompok radikal menggunakan kekerasan sebagai instrumen dalam mencapai tujuannya. Kedua, tidak semua kelompok radikal berujung pada tindakan terorisme. Ketiga, faktor jejaring jejaring sosial dan trayektori aktivisme sangat berperan dalam menentukan seorang aktivis radikal Islam akan terlibat terorisme dan vigilantisme, atau justru termoderasi dan terinklusi oleh sistem demokrasi yang rasional.

Seakan tidak mau kalah dengan pendapat Azca, menurut Jones sejak menyampaikan pidato "Sisi Gelap Demokrasi"  setahun yang lalu ada dua perkembangan yang mengubah hubungan kelompok garis -- keras dengan negara. Namun perubahan tersebut hanya terjadi dipermukaan tanpa ada solusi kelembagaan untuk persoalan bagaimana demokrasi menangani kekuatan anti demokrasi.

Pertama, pemilu 2014 secara langsung atau tidak telah menempatkan sejumlah pembela pluralisme di posisi - posisi penting, seperti Presiden Jokowi sendiri, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kedua, kemunculan Islamic State (IS) dan rekrutmen anggotanya di Indonesia tidak hanya mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghadang  ekstrimisme, tetapi juga memecah kelompok garis -- keras, membuat beberapa diantaranya lebih fokus padaperkembangan eksternal daripada internal. Dan yang tidak berubah sama sekali menurutnya adalah peran penegakan hukum dan kaitan erat antara polisi dan kelompok main hakim sendiri, termasuk yang berbendera agama.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun