Mohon tunggu...
Junaedi SE
Junaedi SE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Penulis Lepas, suka kelepasan, humoris, baik hati dan tidak sombong.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kedaulatan Pemerintahan dan Politik Desa

8 Juli 2021   09:54 Diperbarui: 8 Juli 2021   10:07 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Arie Sujito dalam paparannya, bahwa rekognisi desa sebagai subjek juga harus diikuti dengan pemberian kewenangan (otorisasi). UU Desa akan mampu mengembalikan kewenangan desa secara lebih jelas secara legal formal. Hal ini beriringan dengan tuntutan paradigma pembangunan berorientasi pemberdayaan yang menempatkan masyarakat desa sebagai subjek.

            Sutoro Eko mengungkapkan  dalam perjalanannya merambah ke banyak sisi kehidupan, teknokrasi memiliki tiga "moda". Pertama adalah moralisme. Moralisme mencakup etika dan nilai. Moralisme kini menjadi candu. "Moda" kedua teknokrasi adalah positivisme ilmu pengetahuan. Saya terilhami oleh studi Nancy Peluso tentang hutan dan ekonomi masyarakat Jawa yang dibikin ilmiah. "Moda" ketiga teknokrat adalah instrumentalisme. Ketergantungan pada instrumen berbarengan dengan perkembangan teknologi informasi membuat desa tidak melaksanakan kegiatan politik  dengan baik.

BPD Kalah Bargaining Position

Dalam  konteks desa, kita sudah memiliki Badan Permusyarakatan Desa (BPD) sebagai lembaga formal. Apabila BPD tidak memiliki posisi yang kuat maka wargalah yang menjadi kontrolnya secara langsung. Ini merupakan pengembangan masyarakat emansipatoris dan perlu diberdayakan.

Lain halnya dengan pendapat Bivitri Susanti, menurutnya sesempit apa pun ruang bagi desa, masih ada tempat yang terbuka dengan keberadaan UU Desa dan pernyataan politik yang cukup kuat, terutama lewat Nawacita. Konfigurasi politik seperti ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penguatan desa. Akan disayangkan apabila agenda tersebut tenggelam dalam suasana politik yang masih sangat sempit. Hal ini lantaran kekhawatiran yang bisa timbul saat miniatur hukum tata negara Indonesia dibawa ke desa. Selain kelemahan yang mungkin terbawa, lembaga dan aktor tata negara di level desa juga mungkin belum siap.

Rukko Sombolinggi, dalam tulisannya menekankan bahwa desa yang dibentuk di atas wilayah adat, memiliki potensi sumber daya luar biasa. Mulai dari sumber daya alam, kebudayaan, spiritual, ekonomi, hingga politik. Wilayah adat masih menjaga kelestarian serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk merawat kehidupan. Oleh karena itu, wilayah adat sejatinya adalah penjaga masa depan.

Sementara menurut Taufiq Madjid,menuturkan beberapa hal yang harus kita lakukan adalah  meningkatkan pelayanan dasar, seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, maupun hukum. Sebagai contoh, ketika membicarakan aspek hukum, kita harus mendorong agar masyarakat desa memiliki akses terhadap keadilan. Jangan sampai karena kemiskinan, keterpencilan, dan sebagainya, masyarakat menjadi kesulitan untuk mendapatkan akses layanan kepastian sekaligus keadilan hukum.

Dititik inilah kita memerlukan adanya relawan/paralegal yang bekerja untuk membantu masyarakat desa dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, sebab seperti kita ketahui masih ada limitasi-limitasi yang akan kita hadapi bersama. Pelayanan dasar macam ini penting, sebab transformasi yang progresif di lingkungan desa hanya akan terjadi jika pelayanan dasar sudah terpenuhi.

Dalam tulisan yang berjudul "Mengembalikan Identitas Desa dan Menciptakan Kesadaran Politik Masyarakat", Taufik Max memamparkan Harapan Desa Mandiri adalah bagaimana desa tidak tergantung pada pemerintah dalam membangun desa sesuai identitasnya.

  • Sedangkan Arsal Amiruddin, yang ditulis dalam subjudul "Uang Desa" dan Selubung Kecurigaan menuturkan susah memungkiri kekhawatiran yang masih sering menghantuni banyak pegiat desa sejak ditetapkannya UU Desa. Sejak awal keberadaannya, regulasi ini tidak saja dirayakan sebagai makin luasnya kewenangan, tetapi juga terjadinya perubahan hubungan negara dan desa melalui redistribusi uang negara dan daerah ke desa sebagai hak desa.
  • Kedaulatan dan kemandirian hukum dan politik, harus didesakkan untuk mengayomi terkait probelmatika  ekologi, sosial, ekonomi dan pendidikan bagi warga desanya, dalam konteks hidup dan kehidupan yang kolektif kolegial dalam sebuah komunitas desa yang layak, adil dan beradab dengan tetap menjadikan agama dan budaya sebagai jalan yang utama diatas jalan-jalan lainnya, menuju arah tatanan yang baru dari desa.

Kelebihan dan Kelemahan Buku

Buku ini harus dimiliki oleh Kapala Desa, Pendamping Desa, Pegiat Desa, Perpustakaan daerah hingga Universitas, Akademisi hingga masyarakat yang tertarik dengan isu desa, terutama dalam pengetahuan dalam buku ini terkait strategi dan taktik apa yang harus dijalankan untuk melembagakan peraturan desa dalam relasinya dengan produk hukum/peraturan supradesa, terutama pada urusan dan kewenangan yang berimpit sekaligus memperkuat sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan dalam pelaksanaan urusan antara desa dan supradesa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun