Elegi Ibu Pertiwi - Jun Noenggara
Piring-piring nasi gelas-gelas kopi masih bersih di lemari. Pagi ini langit muram sekali. Tak ada senyuman mentari di bibir ibu Pertiwi
Di kamar mandi ada yang bersenandung sedih sekali. Di halaman rumah bunga-bunga layu tak lagi berseri. Dan burung-burungpun seperti sedang sakit gigi, tak lagi riang bernyanyi
Di tengah ruangan dihidangkan aneka berita televisi dari yang sudah basi hingga yang masih hangat sekali tentang duka negeri ini yang dilanda bencana tak henti-henti, di sana-sini
Di mana-mana pohon-pohon ditebangi, kayu-kayunya dicuri dan dijual ke luar negeri. Dan ketika musim berganti kita tak dapat lagi berlari menghindar dari terjangan bah tragedi
Sungai-sungai dicemari. Ikan-ikannya pada mati dan tak lagi dapat dikonsumsi. Dan kita mandi berlumur mercury
Di Bandung. Di Padang. Di Galuga dan di seluruh pelosok negeri orang-orang pada mati terkubur gunungan sampah buangannya sendiri. Ratusan ribu anak ibu Pertiwi direnggut nyawanya ketika laut mengamuk ganas sekali. Menjulurkan lidahnya hingga jauh ke ujung barat bumi. Mereka mati diterkam tsunami. Mereka mati di serambi rumah Ilahi. Di serambi rumah PertiwiÂ
Dan lumpur lapindo belum mau berhenti menyemburkan nanah dari lukanya yang amat dalam di hati. Habis disetubuhi beramai-ramai dengan kejam sekali
Jangan salahkan kami, kilahnya. Mereka sibuk berargumentasi. Tak lagi acuh pada janji-janji
Dan kitapun terpaksa pergi menyisi. Berbondong-bondong sebagai pengungsi. Berkelahi demi sebungkus mie. Antri berebut minyak dan gas bumi, tabungan ibu Pertiwi yang hilang dan susah dicari
Ya Ilahi, betapa pilu hati ini. Wajah ibu Pertiwi yang dulu cantik sekali, jadi rebutan para koloni, kini hancur di tangan suami dan anak-anaknya sendiri!