Mohon tunggu...
siregar akhmad junaedi
siregar akhmad junaedi Mohon Tunggu... -

Suka mencari keindahan di sela-sela alam tropis. Baginya keindahan itu terpaut di alam liar, termasuk di kutil-kutil katak licin, hingga di antara gigi solenoglipha ular viper. Dia senang mengajak hunting foto, dan rupanya banyak yang menghindar karena takut pantatnya dientup, mau....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Palestina, Pena dan Ibu (Impian Fathina 'Allila)

27 Agustus 2012   17:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

------ Oleh Akhmad Junaedi Siregar (belajar bikin cerpen, kutipan-kutipan dari Kerdam Cinta Palestina) ------

... masih pagi, pelangi itu bertamu dalam rumah, warnanya tak beraturan, bukan indah, seperti biasa yang warna warni ...

Puisi singkat tergores di kertas putih. Fathina kembali membaca ulang rajutan imajinasi pikirannya yang dialiri perasaan iba terhadap negeri tepi barat, Palestina. Kapal mavi marmara yang berangkat dari Turki yang menyalurkan bantuan atas blokade Zionis terhadap rakyat Palestina dipaksa memutar balik haluan. Peristiwa ini peletak pilu bagi semua umat Islam yang terkenal bersolidaritas tinggi. Fathina hampir saja menitikkan air mata ketika merampungkan alinea terakhir, “Darahku ini belum bisa tercurahkan di bumimu, Palestina …”

Andai saja darah bisa membeli kekerasan dan nyawa yang telah melayang, Fathina ‘Allila ingin melunasi itu semua dengan dua per tiga cairan merahnya. Dalam benaknya terbersit bahwa dia masih saja bisa hidup dengan darah tersisa. Hidup di dunia ini layaknya hidup di negeri orang. Hanya menumpang sekejab dan akan permisi pulang ke negeri sebenarnya, negeri impian. Tidak ada harta berharga yang ditinggalkan kecuali kesan yang dalam. Pengorbanan sejati menjadi bekal manis ke depan. Membahagiakan orang tentu saja punya derajat tertinggi.

Dari kamar kecil, pikirannya membahana dan sesekali menatap kosong dinding berwarna biru. Tapi apa yang bisa diperbuat gadis kecil sepertinya untuk melawan musuh Islam sokongan negeri Paman Sam? Jawaban itu terasa sulit. Dan membuatnya berputar-putar seperti bandul yang hampir berhenti. “Betulkah secarik puisi dapat meringankan penderitaan rakyat Palestina yang sedang butuh obat dan makanan?”, hatinya kecilnya bimbang.

***

Azan subuh di Sunggal, Kota Medan melewati gendang telinganya. Seperti biasanya Fathina segera terjaga dan membasahi mukanya dengan air suci yang menyucikan. Kali ini terasa berat membuka mata. Energi sedikit terbuang tadi malam dalam memilah kata. Telekung yang selalu dibasahi aroma pewangi minus alkohol membalut muka anak keturunan Banjarmasin, Minang, Melayu dan Jawa tersebut. Semangatnya menuai suasana fajar yang indah yang didengar burung-burung yang memang mulai terbangun.

“Apa kabar, krucil-ku?
“Baik, Bunda.”

Suara serentak anak didiknya di sekolah swasta di Gatot Subroto, Medan melepas rasa kantuk yang masih tersisa. Hari ini dia menatap sahdu keempat anak kecil keturunan Papua. Telah beberapa lama dia harus lebih ekstra menekankan pelajaran kepada mereka. Anak-anak berkulit hitam itu memiliki pola pikir yang sederhana tapi kritis sehingga perlu metode pembelajaran khusus. Di salah satu sudut ruang kelas, terdiam krucil kecil yang hari ini mungkin tidak sedap hati. Kerudungnya berwarna biru dan matanya berkaca-kaca. Fathina pun merapat.

“Ada masalah apa puteri biru?”, hibur Fathina, “Sini dekat Ibu, ceritakan kenapa murung?”
“Pensil mekanis Thera hilang. Padahal nanti ada pelajaran melukis, Ibu!” matanya mulai mengilap.
“Oh tenang, Ibu bisa pinjamkan. Nanti mau melukis apa, Nak?” Fathina merasa dapat solusi.
“Mau lukis ikan hiu di laut biru,” sahut anak itu sambil menerima pensil satu-satunya bu gurunya.

Fathina menghirup udara panjang-panjang sambil duduk di kursi guru. Seketika merasa luwes sebelum memberikan materi ringan soal hubungan antara sesama beragama. Beliau mengungkapkan bahwa menjaga kerukunan beragama merupakan  kewajiban semua agama. Agama Islam menjunjung tinggi sosialitas perbedaan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun