[caption id="attachment_129746" align="aligncenter" width="638" caption="Kondisi cerobong-cerobong tempat destilasi daun cengkeh di Wonosalam, Jombang yang tak beroperasi lagi (foto dok. pribadi)"][/caption] HARGA daun cengkeh dalam sebulan terakhir di kawasan perkebunan Wonosalam Jombang menembus angka Rp. 2.000,- per kg. Entah apa penyebab utamanya. Pantauan penulis pasca lebaran ini di beberapa desa penghasil dan produksi minyak atsiri daun cengkeh menunjukkan trend yang terus meningkat. Kalau di musim hujan dan/atau menjelang musim kemarau harga daun-daun cengkeh sekitar Rp. 500,-/kg. Sementara kalau musim hujan bisa turun drastis hingga Rp. 300,- karena rendemen minyak yang terkandung sangat rendah. Mahalnya daun-daun kering yang telah berguguran tentu saja sangat menguntungkan pagi para pengumpul atau tukang sapu yang didominasi ibu-ibu paruh baya. Betapa tidak, di tengah kondisi paceklik akibat gagal panen, diaman produktivitas cengkeh tahun ini kurang lebih 5 %, dengan harga yang meningkat 300 % itu tentunya akan menambah pendapatan para pengumpul dan menambah jumlah uang yang beredar di kampung. Itu makanya, dalam suasana lebaranpun ada orang yang sudah ‘turun kebun’ duluan untuk menyapu dedaunan demi bisa menjual dengan harga yang spektakuler ini. Seorang penyapu atau pengumpul daun-daun cengkeh rata-rata sehari mampu mengumpulkan 4-5 karung dengan kapasitas rata-rata 20 kg/karung, maka bisa diperoleh pendapatan sebesar Rp. 200.000,-/hari. Suatu angka yang lumayan untuk menambah ‘nyawa’ ditengah kondisi ekonomi desa yang sedang paceklik ini. Namun demikian, tidak setiap hari para penyapu ini melakukan aktivitasnya. Daun-daun cengkeh yang berguguran dan bisa disapu jumlahnya terbatas, sementara jumlah para penyapu juga tidak sedikit. Jadi aktivitas para penyapu ini tergantung pada persaingan dan berapa luas lahan cengkeh yang ‘dikuasasi’. Maksudnya, para penyapu belum tentu menyapu dedaunan yang ada dikebunnya sendiri, bisa saja para penyapu ini tak mempunyai kebun kebun cengkeh sendiri tetapi mampu ‘menguasai’ kebun cengkeh orang lain, yang memang didominasi oleh orang-orang kota, dengan cara mengontrak lahan untuk diambil daun-daunnya yang telah berguguran. Harga kontrak ini tergantung perjanjian dan tergantung pula rasa welas asih pemilik kebun, soalnya ada juga yang menggratiskannya. Jadi, rata-rata para penyapu hanya bisa mengumpulkan dedaunan 3-5 hari sekali. Dampak lain dari kenaikkan ini tentu saja tak selalu menguntungkan. Ada juga pihak yang tak diuntungkan, yaitu para pemilik ketel, tempat penyulingan (destilasi) daun-daun cengkeh menjadi minyak atsiri. Bagi mereka, kenaikan ini akan menambah biaya modal pembelian bahan baku yang berdampak pula pada revenue atau penerimaan dan laba yang diterimanya. Dan ini akan menjadi masalah berlipat jika rendemen daun yang rendah dan/atau harga minyak atsiri yang relatif tak mengalami kenaikan. Itu makanya, beberapa tempat penyulingan ada yang sampai menghentikan aktivitas destilasi sambil menunggu penyesuaian harga-harga bahan baku maupun hasil produksi. Ini tentu sebuah dilema! Tulisan terkait: Silahturahim di Bawah Pohon Cengkeh Menyapu Sampah, Mendulang Rupiah! Fantastik, Harga Cengkeh di Jombang Menembus Rp 130.000 per Kg!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H