[caption id="" align="alignleft" width="200" caption="matanews.com"][/caption]
KALAU bukan karena teman yang menulis status di FB-nya yang bersumber dari status akun twitter Anggota DPR RI dari PDI-P, Pramono Anung, mungkin saya tak tergerak untuk membuat tulisan ini. Awalnya saya senyum-senyum sendiri membacanya, namun beberapa detik berikutnya dahi saya berkerut-kerut  mencari-cari apa hubungan antara Nurdin Halid, mantan orang yang dipenjara sekaligus dipercaya menjadi pentholan PSSI, dengan juru kunci Gunung Merapi. Ternyata setelah membaca tuntas status itu, memang antara Nurdin Halid dengan juru kunci mempunyai "hubungan" yang sangat dekat.
Dengan kata lain, sejak meninggalnya Sang Juru Kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan yang disapu awan panas muntahan Gunung Merapi beberapa hari yang lalu, membuat kalangan Keraton Yogyakarta mencari sosok pengganti yang tepat. Ada beberapa nama yang muncul, setidaknya versi berbagai media. Nah, di sinilah Pramono Anung mengusulkan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid sebagai calon kuat juru kunci Merapi berikutnya. Karena selama ini Nurdin Halid terbukti selalu sukses membawa PSSI menjadi juru kunci diberbagai ajang kompetisi.
Status Anung ini tentu sangat menarik dan menggelitik. Bisa jadi ini merupakan salah satu bentuk keprihatinan seorang Anung Pramono dan masyarakat penggila bola yang masih "waras" terhadap prestasi sepakbola nasional yang terus-menerus terjun bebas, hingga berada di titik nadir sepanjang sejarah persepakbolaan kita. Tentu saja yang paling bertanggung jawab atas semua ini adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Organisasi yang dipimpin oleh Nurdin Halid ini gagal membangun sistem pembinaan, sehingga tim nasional tak berdaya di kancah internasional. Jangankan untuk pertandingan dengan negara-negara yang maju persebabolaannya, pertandingan dengan lawan sekelas negara "kemarin sore" seperti Laos dan Timor Leste saja, PSSI-nya Nurdin Halid dan gerombolannya tak mampu menang!
Apa sebab? banyak sebabnya. Saat ini pejabat PSSI sudah terjangkiti penyakit kronis yang bernama instanisme dan pragmatisme. Bagaimana mereka lebih mengedepankan naturalisasi orang asing untuk mengisi timnas, sementara jutaan pemuda bertalenta tinggi dari Sabang sampai Merauke tak terurus dengan semestinya. Sementara tentang kompetisi? Mereka sepertinya hanya sebagai "penyelenggara konser hiburan" yang mengedepankan keuntungan semata. Kompetisi hanya menjadi ajang drama kolosal kalangan elit [masih ingat kasus Persebaya, Persik dan Pelita Jaya?].
Sesungguhnya sepak bola bisa menjadi sarana yang strategis untuk pemersatu bangsa, pembelajaran etika dan sportivitas sekaligus sebagai ajang unjuk diri bangsa Indonesia di percaturan dunia internasional. Disamping itu, sepak bola seharusnya juga mampu mencerminkan citra, karakter dan peradaban bangsa. Namun, kenyataannya PSSI ala Nurdin Halid telah gagal membangun citra, karakter dan peradaban bangsa itu karena pengelolaan sepak bola masih amburadul dan dikelola oleh pengurus bercitra narapidana, berkarakter bromocorah dan entah apa peradabannya. Sungguh sangat disayangkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H