Keragaman ekspresi maskulinitas dan femininitas di berbagai wilayah dunia tercermin dari pengaruh yang beragam dari konteks sosial, budaya, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, menyajikan pandangan yang unik terhadap ciri-ciri maskulin dan feminin. Berbagai budaya lokal di Indonesia memberikan penafsiran dan kriteria tersendiri terkait dengan konsep-konsep tersebut, yang membentuk lanskap yang kaya dan kompleks dalam pemahaman tentang identitas gender (Pithaloka et al., 2023).Â
Dalam analisis bias gender, terdapat konsep-konsep seperti maskulinitas dan femininitas yang menjadi pusat perhatian. Suatu kajian tentang maskulinitas tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai gender secara keseluruhan. Gender sendiri merupakan suatu kerangka konseptual yang digunakan untuk mengeksplorasi berbagai perilaku, karakteristik, dan peran yang dipersepsikan sebagai khas bagi laki-laki dan perempuan, yang terbentuk melalui pengaruh lingkungan sosial, sejarah, dan budaya. Pendekatan gender lebih menekankan pada dimensi maskulinitas dan feminitas dalam konstruksi sosial, bukan sekadar mempertimbangkan faktor-faktor biologis atau jenis kelamin secara harfiah (Hasanah & Ratnaningtyas, 2022). Maskulinitas adalah konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki dalam pola perilaku yang menekankan kekuatan, dominasi, dan ketangguhan. Pandangan tradisional menganggap atribut seperti keberanian, kekuasaan, dan ketangguhan sebagai esensi maskulinitas, sementara femininitas menggambarkan perempuan sebagai sosok lembut, penuh kasih, dan emosional (Nurhayati, 2018). Konstruksi ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan lingkungan sosial, di mana peran gender dapat berkembang dalam masyarakat modern yang terbuka.
Terdapat fenomena sosial yang menarik perhatian dalam konteks femininitas dan maskulinitas yang dikenal sebagai "tomboy". Istilah ini, yang berasal dari bahasa Inggris, merujuk pada karakteristik seorang perempuan yang menunjukkan perilaku dan minat yang umumnya diasosiasikan dengan laki-laki. Dalam struktur tradisional, ekspektasi akan femininitas menyiratkan gambaran perempuan yang lembut dan halus. Namun demikian, dalam realitas kontemporer, terdapat sejumlah perempuan yang menunjukkan ciri-ciri yang bertentangan dengan stereotip ini, dan secara umum disebut sebagai "tomboy".
Fenomena ini tidaklah terbatas pada satu budaya atau masyarakat tertentu, melainkan teramati dalam berbagai konteks sosial. Karakteristik yang sering kali terlihat pada individu yang diidentifikasi sebagai tomboy meliputi pakaian yang lebih mirip dengan gaya pakaian laki-laki, potongan rambut yang pendek, hingga adopsi kebiasaan seperti merokok atau memiliki tato. Hal ini sering kali dihubungkan dengan keinginan untuk mengekspresikan independensi, ketegasan, dan kepribadian yang kuat (Efendi & Alfiah, 2022).
Pentingnya untuk mencatat bahwa fenomena ini tidaklah seragam dalam pengalamannya; ada beragam faktor yang mempengaruhi manifestasi tomboyisme, termasuk namun tidak terbatas pada konteks budaya, pengalaman individu, dan interaksi sosial. Secara lebih spesifik, para perempuan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai tomboy cenderung lebih tertarik pada aktivitas yang sering kali dianggap khas laki-laki, seperti berolahraga, dan memiliki lingkaran pertemanan yang dominan oleh laki-laki.
Tentu saja, fenomena ini tidak lepas dari stereotip dan labelisasi dari masyarakat sekitarnya. Penafsiran yang umum adalah bahwa perempuan yang menampilkan ciri-ciri tomboy memiliki orientasi atau identitas gender yang tidak konvensional, yang dapat memicu asumsi tentang identitas transgender atau androgini. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki pengalaman dan identitas yang unik, dan generalisasi yang terlalu luas dapat menyebabkan ketidakadilan atau pemahaman yang dangkal terhadap keberagaman manusia.
Dalam dinamika sosial yang kompleks, terdapat perdebatan mengenai persepsi terhadap wanita tomboy dan pria feminin dalam masyarakat. Terlihat bahwa karakteristik yang biasanya diasosiasikan dengan kelelakian pada wanita sering kali dianggap sebagai sesuatu yang menarik atau "keren", sementara ciri-ciri yang menyerupai kewanitaan pada pria sering kali diberi label negatif. Dinamika ini mencerminkan kompleksitas dalam konstruksi gender yang tidak hanya merugikan wanita, tetapi juga menghadapi pria dengan tantangan yang serupa (Nugroho, 2011).
Pentingnya untuk diakui bahwa stereotip gender dan harapan sosial tidak hanya membatasi perempuan, tetapi juga mempengaruhi persepsi dan pengalaman pria dalam masyarakat. Konstruksi sosial tentang maskulinitas menempatkan tekanan yang kuat pada pria untuk memenuhi standar tertentu dalam perilaku dan ekspresi diri mereka (Djohani, 1996). Oleh karena itu, tidak semua pria dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang ditetapkan oleh masyarakat seputar maskulinitas.
Dalam konteks ini, baik wanita maupun pria sering kali terbatas dalam perilaku dan ekspresi yang diterima oleh norma-norma gender yang ditetapkan. Wanita diharapkan untuk menampilkan ciri-ciri feminin, sementara pria dihadapkan pada tekanan untuk menunjukkan ciri-ciri yang sesuai dengan konstruksi sosial tentang maskulinitas. Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku individu sering kali dipengaruhi oleh norma gender yang telah tertanam dalam budaya kita. Akibatnya, terdapat istilah-istilah yang digunakan untuk mencapai individu yang tidak sesuai dengan norma-norma gender yang ditetapkan, seperti "banci" atau "tomboy", yang selanjutnya memperkuat stereotip negatif dan membatasi kebebasan individu untuk mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis dan memahami dampak dari konstruksi gender dalam masyarakat, serta mengembangkan kesadaran akan keberagaman dan kompleksitas individu di luar batasan-batasan yang ditetapkan oleh norma gender yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa cara kaum maskulinitas melihat gaya berpenampilan tomboy sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya, sosial, dan individual yang kompleks. Perubahan dalam dinamika gender yang sedang terjadi di tengah masyarakat kontemporer juga memiliki dampak signifikan dalam membentuk sikap dan persepsi terhadap fenomena ini. Dengan demikian, sikap saling menghargai keragaman gender dan mengakui hak individu untuk mengekspresikan identitas mereka secara bebas merupakan langkah-langkah penting dalam memperkuat sebuah masyarakat yang inklusif dan bertanggung jawab.
REFERENSI
Djohani, R. (1996). Dimensi Gender dalam Pengembangan Program Secara Parsipatif. Driya Media.
Efendi, Y., & Alfiah, A. (2022). WANITA TOMBOY: BAGAIMANA PANDANGAN ISLAM, PERSPEKTIF GENDERNYA? International Virtual Conference on Islamic Guidance and Counseling, 2(1), 204--214. https://doi.org/10.18326/iciegc.v2i1.393
Hasanah, R. R., & Ratnaningtyas, Rr. P. (2022). Representasi Maskulinitas Perempuan dalam Drama Korea My Name. Komunikasiana: Journal of Communication Studies, 4(1), 1--12.
Nugroho, R. (2011). Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia. Pustaka Pelajar.
Nurhayati, E. (2018). Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif (Edisi 2). Pustaka Pelajar.
Pithaloka, D., Taufiq, I., & Dini, M. (2023). Pemaknaan perempuan Generasi Z terhadap maskulinitas joget Tiktok. Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 7(1), 69--78. https://doi.org/10.22219/satwika.v7i1.24793
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H