Opini Oleh: Â Yumardin Kedang _ Juma
"Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) serentak Tahun ini yang Agenda pelaksanaan pemungutan suara sebagaiman Peraturan KPU akan digelar 27 November 2024. Berlangsung di 545 Daerah di Indonesia dengan rincian 37 Provinsi serta 508 Kabupaten dan Kota. Hitungan itu sudah termasuk Pemilu Kepala Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara dan beberapa Daerah Kabupaten Kota Se_Sultra. Beberapa permasalahan dilapangan yang sering diidentifikasi pada hajatan Demokrasi Pemilu Kada adalah Netralitas Penyelenggara Pemilu dan Aparatur Sipil Negara serta Politik Uang maupun Isu Sara. Kerja Calon Kepala Daerah yang berkompetisi dengan melibatkan Tim semakin meningkat saat dimulainya tahapan Pilkada Provinsi dan Kabupaten Kota seiring dengan Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah oleh KPU Provinsi dan Kabupaten Kota yang terlaksana beberapa pekan Lalu".
Diantara sekian banyak potensi masalah Pilkada isu politik Uang sering kali muncul setiap hajatan pelaksanaan Pilkada. Upaya pengurangan dan  menghilangkan praktik ini dikalahkan Nafsu meraih Kekuasaan mengakibatkan praktik Politik di Indonesia termasuk di Sultra menjadi mahal.
Politik Uang dalam Pilkada sering terjadi akibat sistem Liberalisasi Politik melalui pemilihan langsung. Sistem ini ditenggarai menjadi biang keladi permasalahan tingginya biaya di tiap pelaksanaan Pemilu sejak era Reformasi hingga saat Pilkada serentak ini.
Mahalnya biaya Cost Politik (Pengeluaran Politik) tidak lepas dari berbagai macam tahapan yang dilalui Bakal Calon/ Calon Kepala Daerah dan beragam motif politik Uang. Motif yang paling sering didengar adalah Uang Saksi, Pengawas, tim pemenang dan indikasi Partai Politik meminta pada Calon serta jual beli suara Pemilih melalui data Plasma sebagai upaya meraup suara Pemilih.
Hal itu tentu tidak menghasilkan Kepemimpinan Daerah terbaik karena sudah barang tentu calon Kapala Daerah terpilih akan tersandera untuk pengembalian Modal Uang ketimbang memimpin dengan kinerja baik buat Daerah dan Masyarakatnya dan atau berakibat Kepala Daerah terpilih  terdorong berperilaku Korupsi hingga tersandung Kasus Korupsi paska memimpin akibat dari Modal Pengeluaran Uang Politik sebelumnya saat Pilkada.
Berharap Kepala Daerah Fokus pada Agenda pembangunan dan Pemerintahan justru sebaliknya tak dapat menjalankan agenda pembangunan dan Pemerintahan karena selalu dihantui hitungan pengembalian Modal dan balas budi sebagai bentuk keberpihakan hanya pada pihak- pihak tim pemenangan saat Pilkada.
Ini tentu berdampak buruk bagi Daerah dan Masyarakat sebab janji politik, realisasi Visi misi yang disampaikan pelaksanaanya akan jauh meleset dari janji dan harapan Masyarakat.
Dampak lain dari praktik ini mengakibatkan menurunnya kualitas Demokrasi di Indonesia di Daerah yang akan melaksanakan Pemilu serentak karena adanya Praktik menyimpang, praktik politik Uang. Karena itu, untuk mencegah semakin menurunnya kualitas demokrasi, maka perlu ada kesadaran dan upaya bersama seluruh Komponen Bangsa mulai dari Penyelenggara, Aparat Penegak Hukum, Calon, tim dan Pemilih wujudkan penyelenggaraan Pemilu Adil yang jujur dan bersih.
Kesadaran ini mesti diwujudkan dalam bentuk aksi yang menggugah setiap peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu dan Masyarakat Luas.