Awal mula saya masuk ke dunia kampus yang kala itu banyak macam warna dan ideologi. Mohon maaf jika saya sebutkan diantaranya adalah KAMMI, HTI, PUSDIMA, HMI, BEM dan lain-lain masih banyak lagi pergerakan kampus yang Nampak tenar waktu itu. Semangat mereka membantu para mahasiswa baru unyu-unyu imut menggemaskan tak terlepas dari tujuan mereka dalam merekrut.
Yang cukup mencuri perhatian yaitu Pusat Studi Islam Mahasiswa universitas mulawarman hadir dengan transformersnya. Pada saat itu KAMMI pun tidak kalah eksisnya di kalangan mahasiswa, terlebih dikalangan mahasiswa baru. Orang penting pun terpampang nyata dengan segala penokohannya bak manusia yang tengah naik daun, sehingga cukup mencuri perhatian para mahasiswa baru.
Kondisi mahasiswa di kampus saya yang mendominasi dengan koding dan banyak mahasiswa yang bersemangat memenuhi SKS perkuliahan serta ingin membahagiakan orang tuanya dengan lulus tepat waktu serta mendapat nilai cumlaude adalah sebuah puncak impian bagi mereka. Tetapi tidak untuk saya yang berusaha menjadi orang yang bermanfaat tidak dengan instan, butuh tahapan dan perjuangan untuk mengikuti latihan kepemimpinan tingkat awal, dauroh, mengikuti kajian. Hanya sekedar mencari ilmu diluar kodingan komputer.
Aktivitas keislaman tidak serta merta saya dapatkan diawal perkuliahan. Kebetulan muncul Sekolah Muslim Negarawan. Ini yang cukup menarik, kalimat Muslim Negarawan, banyak yang muncul dibenak saya, organisasi ini kecondongannya lebih ke-Islami atau ke-Indonesiaan, atau bahkan keduanya. Rasa penasaran itupun hadir di benak saya. Semoderat itukah ? hal itu yang menjadi motivasi mengapa saya ingin mengikuti SMN.
Sekolah muslim negarawan angkatan ali bin abi thalib pun saya ikuti penyesalan pertamasebelum bergabung KAMMI, dengan izin keluarga akhirnya saya mengikuti SMN, dikala itu masih semester satu dengan mulai disibukkan praktikum, saya mengikuti agenda tersebut dengan beberapa izin untuk mengikuti praktikum. Sangat menyesal karena mengikuti satu materi yang saya tidak dapatkan dikampus atau dimanapun padahal praktikum bisa saja saya majukan jadwalnya. Penyesalan kedua yang sangat terngiang ketika saya tak mampu menyerap ilmu dan menghidupkan diskusi-diskusi pada saat SMN, saya memilih untuk menjadi penonton disana. Yang harusnya saya mengekpresikan segala pertanyaan saya mengapa KAMMI muncul, mengapa harus KAMMI berdiri mengapa tidak berkolaborasi dengan organisasai lain daripada boros membuka organisasi baru, kenapa dan kenapa tidak begitu getol saya tanyakan tetapi saya memilih diam membisu dan terpaku pada saat Dauroh Marhalah atau diganti dengan bahasa yang lebih mudah dimaknai yaitu Sekolah Muslim Negarawan (SMN).
Pasca SMN yang sudah bisa dikatakan sebagai kader Penyesalan pertamaketika saya harus mengesampingkan MK khos bahkan naasnya lagi, catatan saya pada awal MK khos hilang ditelan bumi hingga sekarang, seolah menjadi orang yang tak berfaedah karena masih meraba-raba mengikuti alur kaderisasinya dan tak tahu menahu persoalan strategi dan pemahaman keislaman.
Penyesalan keduaketika mengikuti hirarki KAMMI yang begitu kompleks dalam mengatasi persoalan yang ada, basic siasa itu muncul dari diri saya yang sangat terlambat mengenal KAMMI. Terfikir kemana masa remaja saya yang tak pernah memperhatikan sejarah, yang hanya berkutat di kampung dan mementingkan diri sendiri. Justru meraba-raba, ketika dikampus tak tahu mau bergabung di organisasi apa, dan kemana arah langkah kaki saya. Ketika orang-orang telah memiliki planing untuk 10 tahun kedepan ketika SMA, saya baru memulainya ketika di dunia Kampus dibarengi dengan target-target ketika telah bergabung di KAMMI.
Penyesalan ketigasaat saya tidak membaca buku lebih awal ketika diberitahu buku wajib yang harus di baca oleh kader KAMMI, saya terlambat mengenal sirah nabawiyah, yang jelas-jelas perjuangan dan tetes darah keringatnya untuk kejayaan islam hingga detik ini. Buku-buku para pembaharu reformasi yang saat ini belum semua saya baca. Bahkan sejarah islam masuk ke Indonesia yang saya ketahui sangat dasar sekali. Menyesal, sebagai muslim dari lahir yang percaya islam itu bukan warisan tetapi tidak tahu menahu persoalan sejarah islam yang ada. Padahal di asrama yang saya tinggali banjir akan buku-buku penunjang mantuba. Penyesalan itu berhujung ketika akan ada sertifikasi saya baru mencari-cari buku bagaikan orang yang terdampar dihutan ingin mencari jalan keluar.
Penyesalan keempatbeberapa madrasah klasikal yang terlewatkan. Bukan karena hebat tetapi tidak memprioritaskan madrasah klasikal dengan dalih tidak sesuai jurusan. Penyesalan lagi-lagi muncul di belakangan, menjadi muslim negarawan bukan hanya untuk sekedar faham struktur organisasi tetapi juga faham dengan kebijakan publik, dan politik.
Penyesalan kelimaketika saya tidak mampu menyelesaikan buku-buku yang dibahas ketika mengikuti DM2 nanti, paradigma yang tak pernah ku pelajari tafsirnya. Lagi-lagi menyesal, dengan pengakuan kader KAMMI tetapi tidak tahu menahu apa yang menjadi pola gerakan organisasi ini.
Penyesalan keenamketika saya mendadak bersikap konsumtif dalam membeli buku-buku bacaan wajib. Selain diwajibkan, seketika pun sadar betapa pentingnya buku di zaman generasi milennial yang ketika tidak membaca buku bak tong kosong tak berisi, pun buku itu akan sebagai nutrisi dalam bernarasi untuk kader KAMMI. Ketika di yogjakarta saya pun terlupa untuk transportasi pulang ketika telah membeli buku-buku mantuba yang menjebak saya kebingungan dibandara sepinggan. Jangan takut untuk mengikuti pengkaderan KAMMI apapun jenjangnya, sebelum penyesalan-penyesalan lain akan muncul silih berganti, totalitas akan didapatkan ketika mengerjakannya dengan ikhlas. Jangan takut untuk mengikuti dauroh marhalah, ketika itupula inspirasi dan impianmu akan tercurah.