Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Musti Ada Hari Kartini ?

22 April 2014   05:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1398094996746740325

[caption id="attachment_332666" align="aligncenter" width="400" caption="RA Kartini dan suaminya (sumber foto : http://wikipedia.org"][/caption]

Oleh : J. Haryadi

Hari ini kita kembali mengenang kelahiran Raden Ajeng (RA) Kartini, penulis buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang sangat fenomenal. Dia merupakan salah seorang wanita yang paling inspiratif di Indonesia. Betapa tidak, begitu banyak wanita yang pernah lahir di Indonesia, namun hanya Kartini-lah yang hari kelahirannya di peringati setiap tahun oleh bangsa Indonesia secara nasional dan besar-besaran. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Apakah kita semua sebenarnya mengerti makna dari peringatan Hari Kartini ?

Mari kita sedikit melihat sejarah ke belakang. Keberadaan acara peringatan Hari Kartini tidak terlepas dari peran wanita kelahiran, Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Pahlawan nasional wanita ini menikah dengan Bupati Rembang ke-7, Djojo Adiningrat RA, pada 12 November 1903. Setahun kemudian, tepatnya pada 17 September 1904, RA Kartini meninggal dunia pada usia ke 25, tepat 4 hari setelah melahirkan anaknya yang pertama.

Sebagai putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, tentunya RA Kartini memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh wanita lain seusianya. Jika dilihat dari strata sosial dan ekonomi, kehidupan Kartini terbilang mapan. Namun, sebagai seorang wanita, nasib dirinya tidak berbeda jauh dengan wanita lainnya. Dirinya tidak bisa bebas beraktivitas seperti halnya kaum pria. Hal ini terjadi akibat beberapa aturan budaya Jawa, misalnya tradisi dipingit bagi wanita yang sudah berusia 12 tahun dan tradisi yang melarang wanita untuk berpendidikan tinggi. Kondisi inilah yang membuat hati RA Kartini gundah dan berusaha berontak melawan tradisi yang menurutnya salah kaprah dan deskriminatif.

RA Kartini sempat bersekolah di ELS (Europese Lagere School) sampai usianya 12 tahun. Oleh sebab itu dirinya bisa mempelajari bahasa Belanda. Sayangnya, setelah memasuki usia 12 tahun, dirinya tidak boleh keluar rumah karena harus dipingit. Terpaksa dia mengikuti aturan adat tersebut sampai usianya menginjak 19 tahun. Baru ketika usinya sudah 20 tahun, dirinya dianggap dewasa dan lepas dari pingitan.

Salah satu hobi Kartini yang membuatnya berbeda dengan wanita lain seusianya adalah kegemarannya membaca dan menulis. Hobinya ini telah membuka mata batin dan pikirannya. Saat itu wanita yang masih keturunan Hamengkubuwana VI  ini berlangganan surat kabar “Semarang De Locomotief” yang diasuh oleh Pieter Brooshooft, majalah “Leestrommel”,  majalah wanita Belanda “De Hollandsche Lelie” dan beberapa majalah kebudayaan dan pengetahuan yang cukup berat.

Beberapa buku yang pernah dibaca Kartini dan cukup memberikan inspirasi bagi dirinya diantaranya adalah “Max Havelaar” dan “Surat-Surat Cinta” karya Multatuli (nama samaran, nama asli Multatuli adalah Eduard Douwes Dekker). Ada juga buku karya Louis Coperus yang berjudul “De Stille Kraacht” (Kekuatan Gaib), buku berjudul “Die Waffen Nieder” (Letakkan Senjata) karya Berta Von Suttner, sertabeberapa buku karya Van Eeden, Augusta de Witt dan karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek yang semuanya ditulis dalam Bahasa Belanda.

Kartini juga membaca buku roman feminis karya Goekoop-de Jong van Beek en Donk berjudul “Hilda van Suylenburg” yang saat itu sempat menghebohkan masyarakat Belanda. Buku ini bercerita tentang kepahitan dan penderitaan hidup seorang wanita yang menentang kekolotan. Saking menariknya, buku ini sempat dibaca ulang Kartini sampai 3 kali. Mungkin kisahnya begitu mengharu biru dan sangat cocok dengan penderitaan batinnya.

Bukan hanya membaca, Kartini juga senang menulis. Dia menulis tentang kehidupan pribadinya, terutama tentang emansipasi wanita. Dia memandang bahwa kaum wanita sudah selayaknya mendapat peran yang lebih luas dari berbagai bidang, termasuk kebebasan otonomi dan persamaan hukum. Selain itu dia juga menulis masalah sosial, dan pandangan politiknya. Beberapa tulisannya sering dimuat di majalah “De Hollandsche Lelie”.

Suatu hari Kartini memasang iklan kecil di majalah “De Hollandsche Lelie” dan dimuat pada edisi 15 Maret 1899. Iklan itu bertujuan untuk mencari sahabat pena dengan kriteria tertentu. Bunyi iklannya kira-kira seperti ini : "Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang ‘teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat.”

Sebenarnya teman yang dicari oleh Kartini adalah seorang gadis dari Belanda yang usianya sebaya dengannya dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa.  Namun sambutan pertama justru datang dari seorang aktivis feminim keturunan Yahudi yang tinggal di Amsterdam. Sahabat pena pertamanya itu bernama Estelle Zeehandellar, berusia 5 tahun lebih tua darinya. Kartini biasa memanggil sahabatnya itu dengan sebutan Stella.

Perkenalan kartini dengan Stella ini merupakan langkah awal baginya untuk berkenalan dengan beberapa wanita keturunan Eropa lainnya seperti Nyonya Abendanon, Nyonya Van Kool, Nyonya Ovink-Soer, Prof. Anton dan Nyonya, Nona Zeehandelaar, Nona Zeehander dan lain-lain.  Surat pertama Kartini untuk Stella, banyak bercerita tentang berakhirnya masa pingitannya. DaIam suratnya, dia menulis semua perasaan yang selama ini membelenggu dirinya, ‘Aku mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang kuinginkan, tetapi tujuanku adalah adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus kawin..."

Peran para sahabat Kartini tidak bisa dianggap enteng dalam mendukung pemikiran Kartini yang terbilang sangat maju. Kita bisa menyimak dari beberapa tulisan Kartini terhadap beberapa sahabatnya yang bisa dijadikan acuan dalam memahami pemikiran Kartini terhadap kemajuan kaum perempuan bangsanya. Diantaranya adalah :

Petikan Surat Kartini kepada sahabatnya Stella pada 18 Agustus 1899 :

Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.”

Pada bagian lain dari suratnya kepada sahabatnya Stella, Kartini menulis :

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini.”

Kartini juga sempat memberontak dengan aturan yang selama ini berjalan dalam kelaurganya dan keluarga para bangsawan Jawa lainnya. Masih dalam surat yang sama kepada sahabatnya Stella tersebut, Kartini menulis :

Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.”

Petikan Surat Kartini kepada sahabatnya Nona Zeehander pada 18 Agustus 1899 :

Bagi saya ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya.”

Petikan Surat Kartini kepada sahabatnya Prof. Anton dan Nyonya, pada 4 Oktober 1901:

Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Setelah Kartini meninggal dunia, J.H. Abendanon mengumpulkan semua surat-surat yang dikirim Kartini kepadanya dan kepada teman-teman lainnya. Kemudian kumpulan surat-surat Kartini tersebut dijadikan buku dengan judul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini ” yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya." Buku ini terbit untuk pertama kalinya di Belanda pada 1911. Sedangkan oleh Armijn Pane, buku tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia  dan diterbitkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Ketika buku tersebut terbit pertama kali di Belanda, sempat menyedot perhatian banyak orang. Buah pikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Bangsa Belanda begitu menghormati Kartini. Bahkan kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan raya di beberapa kota di Belanda, diantaranya di Amsterdam, Utretch, Veerlo, dan Harleem.

Pemerintah Indonesia juga memberikan penghargaan kepada RA Kartini karena jasa-jasanya. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, yaitu 21 April diperingati sebagai hari peringatan “Hari Kartini”.

Kini, tepat 110 tahun sejak wafatnya Kartini, kiprah kaum wanita di Indonesia semakin eksis. Kaum wanita bisa sekolah setinggi-tingginya dan mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria. Tidak sedikit kaum wanita yang sukses dan menjadi tokoh diberbagai bidang kehidupan. Sebut saja nama Megawati Soekarno Putri yang berhasil menjadi Presiden Wanita Pertama di Indonesia, Jeanne Mandagi, SH, (wanita perwira tinggi pertama dijajaran Polisi Wanita Republik Indonesia), Kartini Hermanus (wanita perwira tinggi pertama dijajaran TNI AD), Christina M. Rantetana, MPH, (wanita perwira tinggi pertama dijajaran TNI AL) dan Rukmini (wanita perwira tinggi pertama dijajaran TNI AU).

Beberapa tokoh wanita lainnya adalah Dr. Marie E. Thomas, dokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922. Dr. Ny. Augustine Magdalena Waworuntu, walikota wanita pertama Indonesia (1950 - 1951). Karlina Leksono Supelli, astronom perempuan pertama Indonesia. Prof. Dr. Annie Abbas-Manoppo, sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia tahun 1934, juga rektor dan guru besar wanita pertama Indonesia. Brigjen Pol Rumiah, Kapolda wanita pertama di Indonesia. Tentu saja masih banyak tokoh wanita lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya disini.

Melihat kaum wanita berada di garda terdepan sebagai pemimpin tampaknya sudah tidak menjadi suatu hal yang tabu. Meskipun adat ketimuran yang masih dipegang teguh oleh bangsa Indonesia yang menempatkan Pria sebagai Kepala rumah tangga.

Setinggi apapun pangkat atau jabatan seorang wanita, ketika dirinya sudah berada di dalam lingkungan rumah tangganya, maka dia akan turut dan patuh pada suaminya. Itulah kenyataan dan tetap harus menjadi pegangan bagi kaum wanita dalam meniti karir di luar rumah.

Selama masih ada saling pengertian antara wanita sebagai istri dan pria sebagai suami, maka emansipasi wanita tetap bisa berjalan dengan baik tanpa  harus ada pihak yang dirugikan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun