Profesi seorang penulis di Indonesia itu masih belum begitu populer dan menjanjikan sehingga kalah favorit dengan profesi lainnya seperti dokter, bidan, perawat, polisi, tentara, pilot, pramugari, politisi, birokrat, dan lain-lain. Bahkan, ketika ada orang yang bertanya kepada seseorang yang berprofesi sebagai penulis, komentar mereka cukup miris.
"Oh, wartawan ya?" balas mereka.
"Bukan, saya mah penulis. Wartawan mah beda," sanggah penulis yang ditanya dengan perasaan galau.
Ya, ini adalah kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari. Masyarakat awam masih menyamakan profesi penulis dengan wartawan atau jurnalis, padahal keduanya memang memiliki job desk yang berbeda. Wartawan bekerja di sebuah media massa dengan tugas meliput berita, sedangkan penulis umumnya bekerja secara mandiri dengan menulis artikel (opini) atau menulis buku/novel.
Banyak juga calon penulis yang salah persepsi ketika diajak belajar lebih dalam tentang dunia kepenulisan. Mereka enggan mendalaminya karena sudah memiliki profesi lain selain menulis. Bagi mereka, menulis hanyalah sekadar hobi atau pekerjaan sampingan sehingga tidak ingin mempelajarinya lebih jauh.
Belajar menulis dan mendalaminya sebenarnya banyak sekali manfaatnya, terlepas orang yang mempelajarinya itu mau menjadikan pekerjaan menulis sebagai profesi atau tidak. Sebab, selama ini masih ada persepsi dari sebagian orang yang menganggap belajar menulis itu nantinya harus menjadi penulis, padahal pendapat itu tidaklah benar.Â
Belajar menulis itu tidak harus menjadikan kita sebagai penulis profesional. Namun, kemampuan menulis mampu membuat nilai tambah pada orang yang menguasainya sehingga karirnya bisa meningkat. Tentu saja ada caranya agar pendapat ini bisa direalisasikan.
Seseorang yang mau belajar menulis dan mendalaminya maka kemampuan tersebut jika dikelola dengan benar akan berdampak positif bagi karirnya. Misalnya seseorang yang berprofesi sebagai pengacara maka sebaiknya dia menulis tentang berbagai perkara yang pernah ditanganinya dan bagaimana cara mengatasinya.Â