Seperti dikutip Historia dari narasumbernya, Arnasan (91), kelompok-kelompok liar itu adalah eks para romusa yang kembali pulang dari Wilayah Asia Tenggara. Mereka ini jadi terkatung-katung seperti budak yang kehilangan tuannya. Akhirnya mereka terpecah dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Â
"Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjananya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya," ungkap lelaki yang pada masa mudanya pernah menjadi pedagang keliling itu.
Kemudian masyarakat menjuluki eks romusa yang berbuat onar tersebut dengan sebutan "garong", singkatan dari "Gabungan Romusa Ngamuk". Para garong ini kemudian menyebar ke berbagai tempat dan menjadi buruan pihak keamanan Republik dan tentara Belanda.
"Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda. Selama berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun," ujar Arnasan berkisah.
Kisah keberadaan garong ini juga dialami oleh salah seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer. Pengalaman pribadinya tersebut dituangkannya dalam sebuah tulisan berjudul "Jalan Raya Pos Jalan Daendels". Dalam tulisan tersebut Pram menuturkan kisahnya semasa menjadi seorang prajurit TKR Â berpangkat letnan dua bagian persuratkabaran di Resimen Cikampek.
Pram berkisah suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. Mungkin yang dimaksud Pram sebagai Doejeh adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.
"Tapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya. Anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Aku harus menunggu di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain," ungkap Pram.
Ketika Pram sedang asyik mengobrol dengan beberapa prajurit Resimen Cililin, dia mendengar cerita dari salah seorang dari mereka mengenai banyaknya garong merajalela di wilayah Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Menurut prajurit itu, para garong tersebut terdiri dari beberapa kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda. Boleh dibilang mereka adalah kelompok liar bersenjata.
"Mereka melakukan perampokan di mana saja bila dianggap tak ada penjagaan yang kuat," tulis Pram.
Biasanya para garong tersebut beroperasi dengan menggunakan senjata api pendek. Senapan atau karabin pun mereka ubah larasnya menjadi pendek sehingga mudah disembunyikan di balik sarung.