Pendapat lainnya datang dari Bunda Puji, seorang pendongeng asal Kota Cimahi. Pendiri "Dongeng Semesta" ini mengatakan bahwa Peringatan Hari Aksara terus dilakukan oleh dunia setiap tahun sebagai wujud memajukan agenda keaksaraan ditingkat global, regional, maupun nasional.
Minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah, setidaknya ini mengacu kepada hasil penelitian Program For Internasional Student Assesment yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015. Penyebabnya tidak lain karena masih banyak orang yang buta aksara.
"Tanpa huruf, tanpa aksara, maka dunia menjadi gelap gulita. Awalnya peradaban dimulai dari tulisan. Oleh karena itu betapa pentingnya kita mengenal peradaban. Aksara atau skrip merupakan simbol yang dilekatkan pada berbagai media seperti kertas, batu, daun lontar, kulit binatang atau kayu. Adanya aksara masa lalu atau masa kini sangat berpengaruh pada karya literasi," ujar Bunda Puji yang juga merupakan alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
Hal senada disampaikan oleh Yudistira Purana Shakyakirty alias Mang Ujang La'if yang dikenal sebagai seorang Pakar Aksara Sunda Buhun asal Kota Cimahi, "Tanpa aksara, siapapun tidak akan jadi apa apa. Sudah sewajarnya apabila kita merasa berhutang budi terhadap aksara. Bahkan kita wajib memperingatinya setiap setahun."
"Dengan aksara, kita tahu masa lampau. Melalui aksara pula kita dapat mendokumentasikan segala sesuatu dan dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Dengan aksara kita tahu berbagai aturan, seperti agama dan lain-lain sehingga kita sadar jika kita tidak tahu aksara, kita tidak akan seperti sekarang ini," pungkas pendiri lembaga budaya Sunda "Gentra Pamitran" ini dengan nada serius.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H