Sepanjang itu demi kebaikan bersama dan gaji bulanannya tetap dibayar justru menjadi anugerah tersediri. Selain tidak perlu capek-capek bermacet ria dijalan, juga bisa berkumpul dengan keluarga. Hal ini tentu jarang dilakukan dalam kondisi normal.
Lalu bagaimana dengan para pekerja yang bekerja di sektor informal seperti tukang ojek, tukang parkir, buruh harian lepas, pedagang asongan dan lain-lain?Â
Sehari tidak keluar rumah, berarti mereka tidak bisa makan karena mereka tidak bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Untung saja pemerintah segera tanggap dan mengeluarkan kebijakan jaring pengaman sosial untuk lapisan paling bawah agar masyarakat tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat itu tentu perlu dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah maupun masyarakat umum. Namun, implementasi kebijakan ini tidaklah semudah membuka telapak tangan. Apalagi bagi kaum urban yang berada di perantauan. Mereka tidak semuanya bisa terlindungi oleh kebijakan pemerintah tersebut.Â
Tidak heran kalau banyak kaum urban yang tidak bisa bertahan lama berada di kota besar karena sudah tidak memiliki penghasilan lagi. Uang pegangan yang selama ini dikumpulkannya selama mengais rezeki di kota besar sudah tidak mampu lagi buat bertahan hidup.Â
Ribuan kaum urban yang ada di kota-kota besar pasti merindukan kampung halamannya. Mereka ingin mudik dan bisa berkumpul kembali dengan sanak keluarganya. Setidaknya lebih mudah hidup di kampung karena bibsa makan seadanya. Semua serba murah. Kalau tidak ada lauk bisa mengambil sayuran di kebun.Â
Berbeda dengan di kota yang semuanya serba uang. Bukan hanya soal makan yang jadi pertimbangan mereka mudik, juga soal biaya tempat tinggal yang sebagian besar masih numpang (menyewa) dan harus dibayar.
Pemudik Bagai Makan Buah Simalakama
Pilihan mudik bagi kaum urban menjadi sesuatu yang sulit. Satu sisi mereka ingin mencari aman dengan kembali ke kampung halamannya. Namun, di sisi lain kepulangan mereka dikhawatirkan menjadi masalah baru bagi kampungnya karena patut diduga menjadi pembawa Covid-19. Siapa yang bisa menjamin kalau mereka tidak tertular?Â
Apalagi tidak semua penderita memiliki gejala yang sama. Bagi orang yang memiliki imunitas tinggi, mungkin tidak begitu merasakan dampaknya. Bahkan, bisa saja dia menganggap dirinya sehat. Kalau dia ternyata sehat, apakah ada jaminan sepanjang perjalanan pulang ke kampungnya tidak tertular oleh Covid-19?Â
Seorang pemudik kini dicurigai sebagai pembawa Covid-19. Pemudik bagaikan seorang teroris yang sewaktu-waktu bisa "meledakkan" dirinya sehingga semua orang takut padanya. Rasanya semua ini tidak adil. Apa sih salahnya pulang kampung? Namun, dalam situasi sulit seperti ini, semua pihak harus menyadari bahwa kepentingan umum jauh lebih diutamakan dari kepentingan pribadi atau perseorangan.Â
Bagaiman kalau pemudik tidak pulang dan mengikuti anjuran pemerintah? Bagi pemudik yang sukses mungkin tidak begitu masalah. Namun. bagi pemudik yang belum sukses dan memiliki dana pas-pasan tentu hal ini akan menjadi persoalan tersendiri baginya. Hidup dikota besar tidak murah. Semua serba uang. Kalau tidak punya uang bagaiman bisa makan?