Oleh : J. Haryadi
Agus Hamdani atau lebih dikenal dengan sebutan Agus Gambar, lahir dari pasangan almarhum K.M. Khotim dan almarhumah Hj. Rodiah. Beliau merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara. Bapak kandungnya meninggal dunia ketika Agus masih berusia 7 bulan. Kejadian ini membuat ibunya terpaksa menjadi single parent, sehingga membesarkan beliau dan kakak-kakaknya sendirian. Ekonomi keluarganya saat itu sangat pas-pasan dan kondisinya cukup memprihatinkan.
Penggemar batu akik ini sering sedih kalau ingat masa kanak-kanaknya. Ketika masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD), jika ingin belajar menggambar, Agus terpaksa harus memulung kertas dan pensil bekas. Maklum saat itu ibunya tak mampu membelikan kertas gambar dan pensil baru. Bahkan halaman kosong buku tulis yang biasa dipakainya untuk sekolah, sering dipakai untuk menggambar. Selain itu, beliau juga sering mencari pensil bekas yang sudah dibuang di tong sampah dan memulungnya sebagai alat menggambar.
Jika ada orang menggali sumur, Agus sering mengambil tanah liat dari galian tersebut untuk dijadikannya patung berbentuk hewan. Kebetulan lingkungan tempat tinggalnya cukup fanatik dengan ajaran Agama Islam, sehingga ustad sering menegur Ibunya agar melarang beliau untuk membuat patung. Namun dirinya tetap saja membandel.
Begitulah Agus kecil yang sering tampil beda dan kreatif. Sikapnya ini sering membuat orang di sekitarnya terkejut. Misalnya ketika musim layangan tiba. Sementara teman-teman lainnya membeli layangan yang sudah jadi dengan bentuk biasa, tetapi Agus justru membuat sendiri layangannya berbentuk unik. Hal ini membuat teman-temannya tertarik dan menyukai karyanya. Agus juga saat itu sudah pandai membuat mobil-mobilan sendiri dengan memanfaatkan benda-benda bekas.
Sempat Minder, Meskipun Pandai Menggambar
Sejak kecil Agus sudah memiliki bakat melukis. Bakat alamnya tersebut diasahnya sendiri secara otodidak. Namun kelemahannya, beliau termasuk anak yang sulit untuk berkomunikasi dan sering duduk menyendiri. Jika ingin ikut bermain dengan teman-temannya ke tempat yang agak jauh, kakak-kakaknya justru melarangnya. Mungkin karena sayang atau takut terjadi apa-apa padanya. Meskipun dirinya jarang bepergian jauh, tetapi pikiran Agus tidak bisa diam, selalu melayang liar, mengembara ke mana-mana.
Menginjak kelas 3 SD, ada sebuah pengalaman Agus yang cukup berkesan terhadap salah seorang gurunya yang bernama Pak Kusna. Saat itu Sang Guru membuat peraturan kepada semua muridnya, bahwa beliau akan memajang 10 karya terbaik dari para muridnya. Kebetulan saat itu gambar bikinan Agus juga terpilih di antara ke-10 karya terbaik yang dipajang gurunya, meskipun karyanya berada pada urutan paling akhir.
Menginjak kelas 4-6 SD, kemampuan menggambar Agus kian meningkat. Hal ini dibuktikan dengan naiknya peringkat karyanya yang melonjak dari ranking 10 ke ranking 3 besar terbaik di kelasnya. Â Pengalaman ini membuat beliau bangga, termotivasi dan sangat berkesan sampai sekarang.
Salah satu kebiasaan Agus semasa kecil adalah sering menggambar tokoh-tokoh yang ada dalam permainan gambar. Kemahirannya menggambar saat itu tidak diragukan lagi, sehingga sering mendapat pujian dari rekan-rekan sepermainannya. Namun beliau baru mengenal crayon ketika sudah kelas 5 SD yang diperolehnya pertama kali ketika ada anak tetangganya yang ingin belajar menggambar dari beliau. Tetangganya itu lalu memberinya hadiah crayon sebagai tanda terima kasihnya.
Didikan Keras Ibunya Membuat Dirinya Maju