Menjadi Orangtua untuk Anak

Hari ini memenuhi  undangan dari sekolah anak dalam rangka peringatan Maulid Nabi.  Mendampingi anak pada kegiatan sekolah  hampir tidak pernah saya lakukan, bahkan pada momen pengambilan rapornya dia lebih banyak ayahnya yang mendampingi. Bukan tidak ingin, hanya saja sebagai seorang guru pada saat yang sama saya juga harus menjalankan kewajiban saya menerima orang tua  murid  dan membagikan laporan perkembangan murid murid saya. Hingga beberapa bulan yang lalu sekolahnya mengadakan class meeting antar orang tua murid, saya pun tidak bisa mendampingi, alasan klasik saya harus mengajar,  saya fikir dengan dia didampinya ayahnyapun sudah cukup. Sore hari  saya hanya bisa terdiam ketika dia bertanya " kapan ibu bisa datang ke sekolah saya ?  seperti teman saya yang ditemani oleh ibunya." . Loh kan ada ayah yang temani ? . " Ayah tidak sama dengan ibu, saya ingin sekali kali ibu datang".  Sekali lagi  saya hanya bisa  terdiam, adakah yang terlupa selama ini ? Saya sibuk mengurusi anak didik saya, sementara anak kandung merasa terabaikan. Dan hari ini saya, pada kegiatan Maulid di sekolahnya saya berusaha datang, menyaksikan tumbuh kembangnya, menyaksikan kegiatannya bersama teman temannya. Anak juga perlu didampingi,  anak juga perlu pengakuan. Hari ini saya mendapat pembelajaran dari proses mendampingi tersebut  adalah bahwa kebanggaan terbesar bagi seorang anak adalah ketika mendapat pengakuan dari orang tuanya, bukan dari orang lain.