Entah telah berapa Maulid yang kulewatkan. Mungkin hanya satu dua yang berkesan. Kesan saat masih bocah, yang jauh dari substansi kesyukuran akan eksistensimu Muhammad.
Kesan yang lebih kental, misi mendapatkan bambu berhias kertas warna warni. Yang sebenarnya bukan itu intinya, tapi sebiji telur yang tergantung di ujungnya.
Kenangan itu, saat kami yang anak-anak tak hentinya memandangi batang pisang bertabur sajian di dalam masjid. Tak sabar menunggu acara doa selesai. Saat masa dimana semuanya larut berebut telur yang tersusun rapi.
Hingga kemarin, Maulid bagiku tak lebih dari itu. Sedikit pelengkap pada argumen kosong tentang hari kelahiran nabi terbesar sepanjang sejarah. Cukup sampai disitu.
Di kemudian hari, saat entah roh dari mana menyusupi. Saat keilmuan serasa begitu nikmat. Ketika rasanya waktu terhenti untuk selamanya saat sedang mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba bid'ah terbersit. Tentang stigma moderat dan sejumlah dalil yang tak hentinya dikupas. Perlahan ingin meruntuhkan kebahagiaan satu-satunya yang kupunya tentangmu Muhammad.
Tentang telur dan ketaksabaranku hendak mendapatkan yang paling banyak. Tentang dada membusung ku ketika menjadi anak dengan raihan telur tertinggi.
Aku berontak tentunya. Itu harta ku satu-satunya yang kudapat dari kesan dirimu dulu. Apalagi yang tersisa? Jika kebahagiaanku itu harus diruntuhkan dengan bom bid'ah. Aku tak terima.
Maulid demi maulid pun terus berlalu. Suasana desa ku berganti drastis. Bahkan sering kali Maulid sekadar berlalu. Sekadar dengar.
Begitulah adanya. Masyarakat desa entah kenapa memang lebih kental tentang nuansa kedalaman. Tentang mengemas dan mengagungkan sesuatu. Mungkin subjektiv, tapi itulah rasanya.
Hingga Maulid kali ini. Tepat di Kamis 24 Desember 2015. Saat rasanya air mata hendak jatuh. Tentang waktu yang habis untuk berdebat terkait klaim benar dan salah. Yang sesungguhnya sia-sia.