"Iyalah, karna dia bayar uang sewa. Kamu sudah tanya?"
"Belum."
"Ih, jangan begitu! Itu namanya ngejudge orang."
Saya sedang menunggui Alinea main sambil menggendong Aira yang tengah tidur sore di depan bioskop mall di Makassar.
Percakapan yang kamu baca tadi adalah hasil curi dengar saya. Bagaimana tidak, suara mereka bernada tinggi. Tidak ada siapa-siapa di situ kecuali kami berlima, satunya satpam bioskop. Tapi dia tidak angkat bicara masalah jalangkote di mall yang harganya dua kali lipat dibandingkan harga jalangkote di pinggir jalan depan mall.
Di lantai yang sama dengan bioskop mall itu, di salah satu sudut memang ada lima orang berjualan takjil.
Takjilnya persis sama dengan apa yang bisa kita temukan di pinggir jalan selama Ramadan. Ada es buah, es cendol, jalangkote, bakwan, dan risol. Hanya saja, mereka berjualan di mall dan tentu saja harganya berbeda.
Nah, di lain waktu, saya tersentak mendapati sms Mama yang mengomentari Alinea yang tidak mau menyentuh jilbab pemberiannya.
"Kenapa anakmu tidak mau berjilbab? Begitu hasilnya kalau kamu tidak pernah membacakan dia ayat Kursi."
Sebenarnya ada banyak percakapan-percakapan menghakimi orang yang saya alami. Tentu saja, saya juga tidak pernah absen untuk menjudge orang, walaupun itu hanya di dalam hati.
Di banyak pertemuan dengan teman-teman, baik teman main atau teman kantor, kami malah sibuk mengomentari dan menghakimi kehidupan orang lain---lalu menertawainya.
Padahal masalah terbesar dari mengomentari dan menghakimi kehidupan orang lain adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang mereka alami.
Si Cleaning Service mungkin tidak tahu bahwa untuk berjualan di situ para penjaja takjil di mall harus membayar sewa atau iuran yang tidak murah ke pihak mall. Belum lagi, mereka harus bersiasat dengan harga bahan makanan yang terus naik. Sementara pembeli maunya harga murah.