Mohon tunggu...
Juman Rofarif
Juman Rofarif Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya Juman Rofarif

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lailatul Qadar Bukan Peristiwa Alam

19 Agustus 2011   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan. Ini beredar di kalangan Mazhab Ahmad.

Lailatul qadar terjadi pada bilangan witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan dukungan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id di atas.

Lailatul qadar terjadi pada kisaran tujuh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar di atas.

Perbedaan pendapat soal lailatul qadar di antara Rasul, para sahabat, dan para ulama, menurut saya menunjukkan bahwa lailatul qadar pada dasarnya adalah pengalaman jiwa yang sangat pribadi. Karenanya, masing-masing orang bisa mengalaminya pada saat yang berbeda-beda. Jika kemudian Rasul menyimpulkan, lailatul qadar terjadi pada sepuluh atau tujuh hari terakhir Ramadhan, seperti dalam hadis di atas, itu adalah berdasarkan pengalaman pribadi beliau dan pengalaman sebagian sahabat yang secara kebetulan terjadi pada kisaran waktu-waktu tersebut.

Bahkan, Ibnu al-Arabi, seorang ulama bermazhab fikih Maliki (bukan Ibnu Arabi [tanpa “al”] yang terkenal dengan konsep wihdah al-wujud) sampai pada kesimpulan, “al-shahih annaha la tu’lam”. Yang tepat, menurutnya, lailatul qadar tidak dapat diketahui berdasarkan waktu tertentu. Seseorang tak perlu terobsesi dengan waktu untuk mendapatkan lailatul qadar. Tapi, persiapkan diri, bersihkan jiwa, sebab, lailatul qadar hadir dalam jiwa tanpa ikatan waktu dan tempat tertentu. Dengan rahmat Allah, kapan pun dan di mana pun, seseorang dapat meraih spirit lailatul qadar.

Keagungan Tak Terjangkau Nalar

Lailatul qadar adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang dapat memastikan. Allah dan Rasul memang memberikan informasi kebenaran lailatul qadar, tapi keduanya tidak memberikan kepastian tentangnya. Inilah rahasia di balik diksi yang dipilih Allah dalam surah al-Qadr: wa ma adraka ma lailatul qadr.  Tahukah kau apakah lailatul qadar itu?

Para pakar tafsir, seperti Imam al-Syaukani dalam karya tafsirnya Fath al-Qadir, menyebutkan, kata “ma adraka” adalah bentuk pertanyaan (istifham) untuk menunjukkan bahwa yang menjadi objek pertanyaan adalah sesuatu yang sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh nalar manusia.

Contoh ayat lain yang menggunakan redaksi “ma adraka” adalah tentang hari kiamat dalam surah al-Infithar ayat 17: wa ma adraka ma yaumuddin? (Tahukah kau apa hari pembalasan itu?) atau surah al-Qari’ah ayat 3: wa ma adraka ma al-qari’ah? (Tahukah kau apa hari kiamat itu?). Berdasarkan ayat Al-Quran, kita tahu kebenaran “hari pembalasan” dan “hari kiamat”. Namun, hanya sebatas bahwa ia benar adanya, sedangkan hakikat “hari pembalasan” dan “hari kiamat” hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Demikian juga dengan lailatul qadar. Kita hanya sebatas tahu akan kebenarannya, sedangkan tentang hakikatnya dan siapa yang berhak memperolehnya adalah rahasia Allah. Bahkan, saking rahasianya, barangkali seseorang takkan pernah tahu jika dirinya pernah mengalami lailatul qadar.

Bukan Tujuan Utama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun