Mohon tunggu...
Jumaida Pulungan
Jumaida Pulungan Mohon Tunggu... Penulis - "Writing is work to eternity." ~PA Toer

Terbuka pada setiap kesempatan yang ada

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bisik

18 Juni 2023   07:54 Diperbarui: 18 Juni 2023   07:56 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam terasa begitu panjang. Kadang kala entah apa yang membuat aku lebih memilih terbaring di atas kasur meski itu artinya bertarung hebat dengan diri sendiri. Dengan pikiran yang kadang lupa tata krama. Kurang ajar. Ya, diri kerap kali menjadi musuh dalam diam. Menikam keras segala bentuk asumsi positif menjadi kebalikannya. Pulang-pulang membawa bakul pupuk kebencian. Aku tidak suka itu.
Aku juga kerap kali letih. Kadang kala berdamai dengan apa saja yang melintasi malam hariku. Namun, terlalu sering berakhir dengan menolak kebenaran. Entah mana yang dapat kujadikan kompas hidup; hati yang susah percaya atau otak yang bersikeras 'tak mau mengalah?

Dewasa seberantakan ini. Sial dan aku selalu tidak beruntung. Ya, aku tahu ada rencana terindah di balik ini semua. Namun, yang namanya manusia sudah lumrah merasakan ditinggal, terbuang, tersisihkan, dan harus susah payah mencari jalan untuk balik, mencari setidaknya ranting kokoh untuk tidak jatuh semakin dalam.
Berpegangan. Berpegangan pada apa saja yang menguatkan.
Apa menjadi manusia harus melewati fase kedewasaan?
Harus ada emosi-emosi yang kerap kali dimanipulasi untuk tetap terlihat baik-baik saja.
Namun, ya cara terbaik sembuh adalah berdamai.
Air mata dan satu teriakan keras tidak masalah keluar dari lidah yang selama ini bungkam memberontak.
Mungkin saja akan menemukan kelegaan yang setiap saat menuntut lepas.

Andai saja hidup selalu berbahagia, kita memang tidak akan menjadi tegar.
Andai saja hidup selalu berjalan indah, kita tidak akan menjadi manusia yang bersyukur.
Andai semua diberikan begitu diminta, kita tidak akan mengerti ada hasil dibalik usaha dan doa.

Setiap bait yang terangkai, banyak rasa dan harapan membaik katanya.
Masa-masa yang telah terlewati mengapa harus kepedihan yang kerap singgah di ujung malam?
Aku adalah manusia yang banyak maunya, sepertinya begitu bukan?
Aku tidak keberatan untuk segala luka dan duka yang menjangkiti pikirin ini. Hanya saja, aku terlalu egois untuk menyeimbangi dua emosi yang harusnya saling didampingkan. Aku juga terlalu arogan untuk belajar menerima diri.
Aku cukup berharap semoga hari-hari yang kurasa berat ini akan berakhir. Tidak perlu lupa, cukup berdamai dan belajar menerima kenyataan.
Harusnya aku lebih bisa mengolah emosi dan memperbaiki kerja otak.

Miris, sangat sangat memprihatikan.
Akan lebih baik lagi, mulai lembaran baru, belajar membenah diri, menerima porsi diri. Temukan hal-hal yang disukai dan menjadi diri sendiri.
Aku tahu waktu dan usia tidak dapat direka ulang. Namun, perubahan tidak pernah kenal masam
Apapun hasilnya, aku harap hati-hati yang kehilangan tuan kembali menegaskan diri untuk menentukan arah.
Aku harap juga hati-hati itu segera sembuh dan menemukan kebahagiaan sejatinya, seru bisikan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun