Mohon tunggu...
Jumadi Mappanganro
Jumadi Mappanganro Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan traveller

Penikmat kopi. Bermukim di Sulawesi Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belanda Lebih Peduli Warisan Literal Indonesia

16 April 2011   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:45 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KERAJAAN Belanda pada satu sisi adalah negara yang banyak menguras kekayaan alam Indonesia pada era penjajahan. Namun pada sisi lain, Belanda banyak menyelamatkan warisan literal bangsa Indonesia. Termasuk warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan. [caption id="attachment_102021" align="alignleft" width="300" caption="Bersama Dr Rogerl Tol di Kios La Galigo, Makassar, Jumat sore, 15 April 2011. (Sumber foto: koleksi pribadi)"][/caption] Pandangan tersebut makin menguat dalam memori saya usai berbincang-bincang dengan Direktur KITLV-Jakarta Dr Roger Tol di Kios La Galigo, Jumat sore, 15 April 2011 lalu. Kios ini terletak di Jalan Pengayoman, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. KITLV adalah singkatan dari Koninklijk Instituut voor Taal, Land- en Volkenkunde atau Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara. Perbincangan lebih sejam itu turut dihadiri Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB-Unhas) Prof. Dr. Nurhayati Rahman dan Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Dr. Andi Ima Kesuma. Pada bincang-bincang itu, Roger Tol mengatakan, ia tiba di Kota Makassar sejak Kamis, 14 April 2011. Di kota ini, ia akan berada selama empat hari. Kedatangannya kali ini adalah salah satunya karena hendak berburu naskah-naskah tentang Sulawesi Selatan (Sulsel). Termasuk mencari dan membeli buku-buku yang diterbitkan penerbit lokal. Beberapa toko buku dan penerbit yang ada di Kota Makassar sepertiPenerbit Ininnawa dan Penerbit Pustaka Refleksi telah didatangi. Naskah atau buku-buku yang diperolehnya itu selanjutnya akan dikirim ke Perpustakaan KITLV di Leiden, sekitar 200 km dari Amsterdam, ibu kota Kerajaan Belanda. Roger Tol mengatakan, kedatangannya di kota ini  bukan yang pertama kali. Tapi sudah sering. Hampir setiap tahun ia menyempatkan mampir di kota ini. Setiap datang, selalu dengan misi khusus mencari dan membeli naskah-naskah tentang masyarakat Sulawesi Selatan. "Saya pertama kali ke Makassar sejak tahun 1985," katanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. Maklum, ia sudah lama pergi pulang Belanda-Jakarta sejak tahun 1975. Bukan hanya itu, ia juga memiliki istri asli orang Indonesia. Misi Khusus [caption id="attachment_102019" align="alignright" width="300" caption="Perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda. (Sumber foto: kitlv.nl)"][/caption] Mendengar maksud kedatangannya di Kota Makassar untuk mencari naskah-naskah warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan atau buku-buku terbitan lokal itu, saya sejenak terkesima. Spontan pula dalam benak saya timbul pertanyaan, apa pentingnya? Pertanyaan ini belum sempat saya ucapkan ke Roger Tol. Sebab saat itu juga Roger yang seakan- akan tahu apa yang dalam pikiran saya, menambahkan penjelasannya. Katanya, misi mengumpulkan warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan untuk selanjutnya dikirim ke Perpustakaan KITLV itu bukan tanpa alasan. KITLV bermaksud menjaga atau mempertahankan cap bahwa Perpustakaan KITLV adalah perpustakaan dengan koleksi warisan literal bangsa Indonesia, termasuk warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan, terlengkap di dunia. Wow, luar biasa ya idenya. "Sejak didirikan pada 160 tahun lalu hingga saat ini, Perpustakaan KITLV yang ada Leiden itu telah mengoleksi sekitar 1 juta-an naskah-naskah tentang Indonesia, termasuk dari Sulawesi Selatan," ujar Roger Tol dengan ramah. Bahkan katanya, perpustakaan KITLV memiliki koleksi naskah tentang masyarakat Indonesia yang dibuat abad ketujuh Masehi. Roger mengetahui banyak tentang Perpustakaan KITLV yang ada di Leiden. Pasalnya, sebelum menjabat Direktur KITLV Jakarta sejak 2003 hingga saat ini, Roger pernah menjabat Kepala Perpustakaan KITLV di Leiden selama 10 tahun atau sejak 1993 hingga 2003. Katanya, salah satu koleksi Perpustakaan KITLV adalah manuskrip I La Galigo. Manuskrip ini menggunakan bahasa Bugis klasik dan ditulis dengan huruf lontarak Bugis. Manuskrip ini disebutkan lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana, warisan literal masyarakat India. Naskah I La Galigo itu pernah berserak dan nyaris hilang. Raja Paccana bernama Colliq PujiE (1812-1876) adalah salah seorang yang berperan besar mengumpulkan kembali naskah tersebut. Kendati dipercaya masih banyak pula yang belum dikumpulkan. Manuskrip yang berhasil dikumpulkan kembali itu terdiri 2.851 halaman. Paccana kini masuk wilayah Kabupaten Barru, sekitar 100 km arah utara Kota Makassar. Manuskrip ini banyak berisikan pesan-pesan bijak nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan. Pada tahun 1800-an, Dr Benjamin Frederik Matthes, seorang ilmuwan Belanda, kemudian membawakan sebagian naskah I La Galigo itu ke Belanda yang kini disimpan dalam Perpustakaan KITLV. Untuk menjaga agar tak rusak, manuskrip aslinya sengaja disimpan di ruang khusus yang dilengkapi pendingin yang bisa menjaga agar suhu ruangan tetap bersuhu 18 derajat Celcius. Untuk membacanya, tak diperkenankan menyentuh langsung manuskripnya. Sebab dikhawatirkan hancur jika tersentuh. Kendati demikian, pengunjung Perpustakaan KITLV bisa membaca naskah I La Galigo itu dalam bentuk micro film. [caption id="attachment_102024" align="alignleft" width="300" caption="Istri saya berfoto di depan Museum La Galigo yang ada di dalam Benteng Pannyua (Fort Rotterdam). Sebagian kecil manuskrip La Galigo yang ditulis tangan juga tersimpan di museum ini. (Foto: Jumadi Mappanganro)"]

13029469291650454186
13029469291650454186
[/caption] Sebagian lagi manuskrip I La Galigo yang ditulis tangan itu masih disimpan di Museum La Galigo yang ada di Benteng Pannyua (Fort Rotterdam) di Jalan Ujungpandang Nomor 1, Makassar. Benteng ini berada sekitar 300 meter arah utara dari Anjungan Bahari Pantai Losari. Namun, kata Roger, dibanding manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan KITLV jauh lebih banyak dan lengkap dibanding yang ada di Museum La Galigo. Aset Dunia Roger menambahkan, berkat bantuan sejumlah peneliti seperti peneliti dari Universitas Hasanuddin Muhammad Salim dan Prof Dr Nurhayati Rahman serta mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar Prof Dr Fachruddin,  sebagian manuskrip I La Galigo itu telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun pengerjaan proyek besar tersebut baru menyelesaikan dua jilid yang telah dibukukan. Proyek penerjemahan hingga dicetak dalam bentuk buku tersebut, semua biayanya ditanggung Kerajaan Belanda. Tak ada sesenpun dari dana Pemerintah RI maupun bantuan anggaran dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. "Kira-kira masih ada sekitar 10 jilid  lagi belum diselesaikan. Proyek ini belum bisa dilaksanakan karena dana yang terbatas. Beberapa teman peneliti sudah meminta bantuan pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah di sini (Sulawesi Selatan) untuk mendanai kelanjutan proyek ini, namun sampai sekarang belum ada respon positif," tutur Roger. Pernyataan Roger itu juga dibenarkan Prof. Dr. Nurhayati Rahman dan Prof. Dr. Andi Ima Kesuma. Kedua wanita ini juga dikenal sebagai peneliti La Galigo dan pemerhati budaya Sulawesi Selatan. Padahal, menurutnya, naskah I La Galigo itu merupakan naskah yang maha penting diselamatkan agar bisa dibaca banyak orang. Naskah I La Galigo tak hanya penting diketahui masyarakat Sulawesi Selatan maupun rakyat Indonesia, tapi juga oleh masyarakat dunia. Itulah mengapa kini, Roger dan pemerhati naskah I La Galigo tak lagi banyak berharap uluran bantuan dari Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Roger dan rekannya sedang mengupayakan agar UNESCO menetapkan naskah I La Galigo sebagai naskah warisan dunia. Jika berhasil usaha ini, maka proyek penerjemahan hingga penerbitan dalam buku I La Galigo bisa dilanjutkan hingga rampung dengan dana sepenuhnya dari UNESCO. UNESCO adalah singkatan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. UNESCO adalah salah satu badan khusus Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang membidani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan antarnegara. "Usulan kami sudah masuk. Kami masih menunggu pengumuman UNESCO yang rencananya diumumkan Mei tahun ini. Mudah-mudahan usulan kami diterima UNESCO," kata Roger sembari sesekali menyantap Mi La Galigo dan minum Es Kopi La Galigo. Di kios ini memang menamakan beberapa jenis makanan dan minumannya dengan mengikutkan nama La Galigo. Bandingkan [caption id="attachment_102027" align="alignright" width="300" caption="Dari kiri - Prof Dr Nurhayati Rahman, Dr Roger Tol, dan Prof Dr Andi Ima Kesuma saat istirahat di Kios La Galigo, Makassar, Jumat (15/4/2011). Mereka telah turut berperan memperkenalkan naskah I La Galigo. (Foto: Jumadi Mappanganro)."]
1302947342461165563
1302947342461165563
[/caption] Kata Roger lagi, warisan literal bangsa  Indonesia, sangat kaya. Begitu pula warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan. "Dibanding daerah lainnya di Indonesia, naskah-naskah tentang Sulawesi Selatan cukup banyak. Selain naskah berbahasa Indonesia, Perpustakaan KITLV juga punya naskah buatan masyarakat Sulawesi Selatan dalam bahasa Arab, Bugis, dan  Makassar yang dibuat kalangan pesantren yang ada di Sulawesi Selatan," jelasnya. Tapi sangat disesalkan karena pemerintah Indonesia kita saat ini masih kurang peduli dengan penyelamatan warisan literal bangsa ini. Setali tiga uang dengan Pemerintah Sulawesi Selatan yang juga kurang peduli dengan pelestarian warisan literal masyarakatnya. Kekurangpedulian itu bisa dicek di perpustakaan-perpustakaan di daerah ini. Kalau kita ke perpustakaan yang didanai pemerintah itu, umumnya sangat minim koleksinya. Termasuk koleksi naskah tentang masyarakat Sulawesi Selatan atau buku-buku terbitan lokal. Bahkan buku tentang I La Galigo yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, beberapa perpustakaan di Sulawesi Selatan belum memilikinya. Memprihatinkan memang. Agaknya pemerintah dan DPRD daerah ini lebih mudah mengalokasikan anggaran APBD-nya untuk pelesiran pejabat eksekutif dan legislatif ke luar negeri ketimbang mengalokasikan dana yang memadai untuk perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah. Padahal, dana APBD yang digunakan untuk "jalan-jalan" ke luar negeri bagi anggota DPRD dan pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan itu ditaksir bisa mencapai lebih Rp 10 miliar dalam setahun. Lalu, jika orang Belanda saja peduli dengan warisan literal bangsa Indonesia, mengapa kita tidak? Masih pantaskah kita diam? Ditulis di Warkop Cappo, Makassar, 16 April 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun