KERAJAAN Belanda pada satu sisi adalah negara yang banyak menguras kekayaan alam Indonesia pada era penjajahan. Namun pada sisi lain, Belanda banyak menyelamatkan warisan literal bangsa Indonesia. Termasuk warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan. [caption id="attachment_102021" align="alignleft" width="300" caption="Bersama Dr Rogerl Tol di Kios La Galigo, Makassar, Jumat sore, 15 April 2011. (Sumber foto: koleksi pribadi)"][/caption] Pandangan tersebut makin menguat dalam memori saya usai berbincang-bincang dengan Direktur KITLV-Jakarta Dr Roger Tol di Kios La Galigo, Jumat sore, 15 April 2011 lalu. Kios ini terletak di Jalan Pengayoman, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. KITLV adalah singkatan dari Koninklijk Instituut voor Taal, Land- en Volkenkunde atau Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara. Perbincangan lebih sejam itu turut dihadiri Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB-Unhas) Prof. Dr. Nurhayati Rahman dan Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Dr. Andi Ima Kesuma. Pada bincang-bincang itu, Roger Tol mengatakan, ia tiba di Kota Makassar sejak Kamis, 14 April 2011. Di kota ini, ia akan berada selama empat hari. Kedatangannya kali ini adalah salah satunya karena hendak berburu naskah-naskah tentang Sulawesi Selatan (Sulsel). Termasuk mencari dan membeli buku-buku yang diterbitkan penerbit lokal. Beberapa toko buku dan penerbit yang ada di Kota Makassar sepertiPenerbit Ininnawa dan Penerbit Pustaka Refleksi telah didatangi. Naskah atau buku-buku yang diperolehnya itu selanjutnya akan dikirim ke Perpustakaan KITLV di Leiden, sekitar 200 km dari Amsterdam, ibu kota Kerajaan Belanda. Roger Tol mengatakan, kedatangannya di kota ini bukan yang pertama kali. Tapi sudah sering. Hampir setiap tahun ia menyempatkan mampir di kota ini. Setiap datang, selalu dengan misi khusus mencari dan membeli naskah-naskah tentang masyarakat Sulawesi Selatan. "Saya pertama kali ke Makassar sejak tahun 1985," katanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. Maklum, ia sudah lama pergi pulang Belanda-Jakarta sejak tahun 1975. Bukan hanya itu, ia juga memiliki istri asli orang Indonesia. Misi Khusus [caption id="attachment_102019" align="alignright" width="300" caption="Perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda. (Sumber foto: kitlv.nl)"][/caption] Mendengar maksud kedatangannya di Kota Makassar untuk mencari naskah-naskah warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan atau buku-buku terbitan lokal itu, saya sejenak terkesima. Spontan pula dalam benak saya timbul pertanyaan, apa pentingnya? Pertanyaan ini belum sempat saya ucapkan ke Roger Tol. Sebab saat itu juga Roger yang seakan- akan tahu apa yang dalam pikiran saya, menambahkan penjelasannya. Katanya, misi mengumpulkan warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan untuk selanjutnya dikirim ke Perpustakaan KITLV itu bukan tanpa alasan. KITLV bermaksud menjaga atau mempertahankan cap bahwa Perpustakaan KITLV adalah perpustakaan dengan koleksi warisan literal bangsa Indonesia, termasuk warisan literal masyarakat Sulawesi Selatan, terlengkap di dunia. Wow, luar biasa ya idenya. "Sejak didirikan pada 160 tahun lalu hingga saat ini, Perpustakaan KITLV yang ada Leiden itu telah mengoleksi sekitar 1 juta-an naskah-naskah tentang Indonesia, termasuk dari Sulawesi Selatan," ujar Roger Tol dengan ramah. Bahkan katanya, perpustakaan KITLV memiliki koleksi naskah tentang masyarakat Indonesia yang dibuat abad ketujuh Masehi. Roger mengetahui banyak tentang Perpustakaan KITLV yang ada di Leiden. Pasalnya, sebelum menjabat Direktur KITLV Jakarta sejak 2003 hingga saat ini, Roger pernah menjabat Kepala Perpustakaan KITLV di Leiden selama 10 tahun atau sejak 1993 hingga 2003. Katanya, salah satu koleksi Perpustakaan KITLV adalah manuskrip I La Galigo. Manuskrip ini menggunakan bahasa Bugis klasik dan ditulis dengan huruf lontarak Bugis. Manuskrip ini disebutkan lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana, warisan literal masyarakat India. Naskah I La Galigo itu pernah berserak dan nyaris hilang. Raja Paccana bernama Colliq PujiE (1812-1876) adalah salah seorang yang berperan besar mengumpulkan kembali naskah tersebut. Kendati dipercaya masih banyak pula yang belum dikumpulkan. Manuskrip yang berhasil dikumpulkan kembali itu terdiri 2.851 halaman. Paccana kini masuk wilayah Kabupaten Barru, sekitar 100 km arah utara Kota Makassar. Manuskrip ini banyak berisikan pesan-pesan bijak nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan. Pada tahun 1800-an, Dr Benjamin Frederik Matthes, seorang ilmuwan Belanda, kemudian membawakan sebagian naskah I La Galigo itu ke Belanda yang kini disimpan dalam Perpustakaan KITLV. Untuk menjaga agar tak rusak, manuskrip aslinya sengaja disimpan di ruang khusus yang dilengkapi pendingin yang bisa menjaga agar suhu ruangan tetap bersuhu 18 derajat Celcius. Untuk membacanya, tak diperkenankan menyentuh langsung manuskripnya. Sebab dikhawatirkan hancur jika tersentuh. Kendati demikian, pengunjung Perpustakaan KITLV bisa membaca naskah I La Galigo itu dalam bentuk micro film. [caption id="attachment_102024" align="alignleft" width="300" caption="Istri saya berfoto di depan Museum La Galigo yang ada di dalam Benteng Pannyua (Fort Rotterdam). Sebagian kecil manuskrip La Galigo yang ditulis tangan juga tersimpan di museum ini. (Foto: Jumadi Mappanganro)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H