Assalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh, halo teman-teman. Kembali lagi menulis setelah beberapa lama hiatus. Nah, Pada kesempatan yang luar biasa ini, Saya ingin berbagi pengalaman pribadi yang mungkin bisa jadi pelajaran buat kita semua. Ini saya tulis saat sedang scroll WA Grup HTR yang sangat antusias untuk share pencapaian strava. Ada 2 perasaan berkecamuk dalam dada Yakini sedih dan Bahagia. Sedihnya karena saya hanya bisa melihat olahraga yang saya cintai dan dari dulu saya dakwahkan kepada teman-teman guru sekarang hanya bisa memantau saja. Saya rasanya terpenjara dari keinginan ketika melihat ada orang, kerabat atau pun  Bahaginya adalah dulu yang susah payah grup dibuat sekarang tumbuh pesat. Sama halnya kita melihat murid kita sukses di masa depan dengan prestasinya.
 Sekitar 2 bulan yang lalu Saya sangat semangat berolahraga, terutama lari dan badminton. Saking semangatnya seminggu yang ada 7 hari saya sampai 9 hari olahraganya. Mungkin bagi saya yang masih zaman jahiliyah saat itu menganggap itu keren (keren dari Hongkong) dan sayangnya juga saya kurang memperhatikan hal-hal penting seperti istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang seimbang. Akibatnya, cedera meniscus lateral pada lutut datang menghampiri tanpa salam, dan sekarang dokter tidak mengizinkan saya untuk berlari lagi dan bermain badminton lagi. Sedihnya tu kaya Han Ji Pyeong ditikung Nam Dosan buat dapetin Seo Dal Mi dalam Drakor Start Up tahu kan kira?
Cedera ini sangat menyiksa dan membatasi aktivitas fisik saya dan mengingatkan bahwa kita harus selalu mendengarkan tubuh. Jadi, bagi kalian yang juga aktif berolahraga, khususnya lari, jangan ulangi kesalahan saya. Pastikan tubuh kalian mendapat istirahat yang cukup, nutrisi yang baik, dan jangan memaksakan diri melebihi batas. Tetap sehat, tapi lakukan dengan bijak!
Berikut curhatan saya sebagai guru yang juga menggilai olahraga.
Sebagai guru, kita punya tugas mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi dibalik itu, ada satu tanggung jawab yang sering terlupakan merawat diri sendiri. Salah satunya melalui olahraga. Ya, kita bicara soal lari! Olahraga ini memang jadi tren di mana-mana, olahraga yang menjadi primadona karena beribu manfaatnya dan beberapa dari kita mungkin tergoda untuk menjadi pelari super hanya karena sering melihat pencapaian orang di Strava. Tapi tunggu dulu, ingatlah, kita bukan atlet profesional. Jadi, mari kita bahas mengapa kita harus tetap bijak dalam berlari. Ini sekali lagi berdasarkan pengalaman pribadi
Jangan Terpukau dengan Strava? Pelan-pelan, Bro!
Sebagai guru, kita pasti sudah sangat akrab dengan aplikasi dan teknologi. Strava, misalnya, bikin hidup kita penuh motivasi (atau malah stress). Setiap hari muncul notifikasi pencapaian teman: "Pak Budi berlari sejauh 10 km dalam 50 menit." Wah, kita yang biasanya santai-santai jogging jadi tergiur, "Ah, masa gue kalah? Harus bisa lebih cepat!" Bukan tidak boleh untuk itu tapi kadang kita terlalu nge push kemampuan badan kita tanpa memberi hak badan yakni istirahat, recovery dan asupan nutrisi berkualitas. Contohnya abis lari makannya bubur ayam yang sedikit sekali proteinnya. Protein penting karena untuk merecovery sel tubuh perlu asupan protein seimbang. Kemudian kita masih sering begadang padahal sudah ada lagunya lho tapi tetep ngeyel. Ini yang membuat badan kita menjadi rentan cidera.
Sebagai guru yang bukan atlet, badan kita tidak didesain seperti pelari profesional. Bukan berarti kita nggak bisa mencapai hal-hal besar, tapi kita harus tahu batasan diri. Meningkatkan pace dan jarak secara bertahap itu memang baik, tapi harus tetap mendengarkan tubuh. Jangan sampai ambisi ini malah membuat kita cidera atau kelelahan. Ingat, tugas kita bukan hanya di lintasan lari, tapi juga di depan kelas.
"Listen to Your Body" Adalah Slogan Keren Bukan Cuma Omongan!
Sering dengar pelari profesional bilang, "Listen to your body?" Ini bukan cuma jargon keren buat motivasi di poster, tapi nasihat serius yang juga berlaku buat kita, guru. Saat lari, tubuh kita mengirimkan sinyal: apakah kita sudah terlalu lelah, apakah kaki mulai terasa sakit, atau apakah napas mulai berat. Jangan cuekin sinyal ini! Jangan sampai demi mengejar 'runner's high' atau mengalahkan pencapaian di Strava, kita malah memaksakan diri berlari tanpa istirahat yang cukup.
Sebagai guru, kita sudah banyak menguras energi mental dan fisik di kelas. Belum lagi untuk administrasi dan mencari sertifikat (upsssss) Jadi, jangan lupa untuk selalu merencanakan waktu istirahat yang cukup di antara sesi lari. Kalau hari Senin sampai Jumat energi habis untuk mengajar, Sabtu lari ringan dulu, Minggu baru tambah intensitas. Lari memang menyenangkan sangat menyengkan bahkan bagi saya, tapi tetap ingat! Kesehatan tubuh adalah prioritas utama!