Sejak berdirinya sekolah-sekolah yang dikuasai oleh orang-orang Eropa, dan cakupan siswa-siswanya hanya tertentu saja, misalnya di kalangan bangsawan dan orang Eropa saja. Kemudian sekolah juga sangat terbatas serta ada juga sekolah yang membatasi penerimaan muridnya dan perlu biaya yang besar. Hingga akhirnya tersadarlah seorang Dr. Wahidin Soedirohoesodo dalam suatu aksi mengumpulkan dana beasiswa (studiefonds). Dr. Wahidin dikenal juga dalam masyarakat Jawa dengan sebutan Mas Ngabei Sudirohusodo. Ia mempunyai keyakinan bahwa bangsanya harus berjuang dan untuk mempersiapkan mereka menghadapi perjuangan. Untuk menyebarkan gagasan itu, dia menghimbau para priyayi (bangsawan tradisional) dan kaum terpelajar agar mendukung aksi itu. “Dana Belajar” harus diadakan untuk membantu anak-anak dan pemuda yang cerdas, tetapi tidak dapat melanjutkan studinya karena terhalang oleh biaya yang besar. Sejak 1906 Dr. Wahidin berkeliling Jawa untuk mencari dana tersebut. Di Yogyakarta ia mendapat dukungan dari sekelompok orang-orang terkemuka untuk mencapai tujuan tersebut. Diantaranya yang sangat besar pengaruhnyaadalah Pangeran Notodirdjo dari keluarga Pakualaman, R. Dwijosewojo, Mas Budiardjo dan lain sebagainya. Salah satu perjalanan Dr. Wahidinialah mengunjungi para mahasiswa Sekolah Kedokteran Jawa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen ) di Jakarta, sehingga mahasiswa tersebut pun secara antusias dari ide Dr. Wahidin. Kemudian mereka terbawa dalam rapat mahasiswadi dalam ruang pada tanggal 20 Mei 1908 yang berlangsung serba sederhana, karena mungkin tidak direncanakan sebelumnya. Pendirian Budi Utomo yang merupakan awal dari pergerakan nasional di Indonesia yang kelak diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.Sejak saat itulah susunan dari organisasi tersebut disusun lebih penting dan berkompeten.
Dr. Wahidin Sudirohusodo merupakan pembangkit semangat organisasi Budi Utomo. Sebagai lulusan sekolah dokter Jawa di Weltvreden (sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA, ia merupakan salah satu tokoh intelektual yang berusaha memperjuangkan nasib bangsanya. Pada tahun 1901 Dr. Wahidin Sudirohusodo menjadi direktur majalah Retnodhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu, yang dikhususkan untuk kalangan priyayi. Hal ini mencerminkan perhatian seorang priyayi terhadap masalah-masalah dan status golongan priyayi itu sendiri. Ia juga berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Barat. Namun tidak semua golongan priyayi mendukung berdirinya Budi Utomo tersebut. Hal ini disebabkan kaum priyayi birokrasi dari golongan ningrat atau aristokrat mengadakan reaksi jika gerakan tersebut mengancam kedudukan kaum aristokrasi yang menginginkan situasi status quo, yaitu keadaan yang dapat menjamin kepentingan mereka. Secara politis pada tahun-tahun pertama keberadaanya hampir non-partisan. Sifat organisasi dan pernyataan pemimpinnya tampaknya membenarkan pandangan, yang dipegang oleh hampir semua pakar Eropa mengenai Indonesia, bahwa Islam hampir tidak mengubah pandangan hidup orang Jawa dari prototype pada dasarnya Indonesia dan bahwa konsep ideal Islam tidak pernah secara radikal mengubah perilaku spiritual itu.
Hanya Mencakup Pulau Jawa dan Madura
Budi Utomo merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai intinya dengan gerakan awal jangkauannya hanya terbatas pada Jawa dan Madura. Jangkauan wilayah yang terbatas ini, menjadikan Budi Utomo dianggap sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan, karena salah satu programnya berbunyi “ de harmonische ontwikkeling van land en volk van Jawa en Madura”(kemajuan yang harmonis bagi nusa Jawa dan Madura). Dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau tersebut yang mencakup juga masyarakat Sunda yang kebudayaannya mempunyai kaitan dengan Jawa meski yang dipakai sebagai bahasa resmi organisasi adalah bahasa Melayu.
Pendirian Budi Utomo yang didirikan tanggal 20 Mei 1908oleh mahasiswa STOVIA dan Sutomo dipilih sebagai ketuanya. Sutomo dan mahasiswa STOVIA menyadari bahwa organisasi mereka dapat berfungsi hanya jika dipimpin oleh mereka yang sudah berpenghasilan dan berpengalaman. Kesadaran itu membuat Sutomo dan mahasiswa STOVIA berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan Budi Utomo dan secara resmi menjadikannya organisasi bagi seluruh masyarakat Jawa. Budi utomo sebagai organisasi modern pertama tapi tidak memikirkan wilayah di luar Jawa yang harus diperhatikan dari belenggu pemerintah Hindia Belanda. Perkembangan Budi Utomo pada umumnya lebih terfokus kepada masyarakat Jawa dan Madura saja, berbeda dengan Sarekat Islam misalnya, yang mencakup secara keseluruhan. Apalagi banyak pendiri Budi Utomo berasal dari kalangan Priyayi dan bangsawan. Jaringan sosial ternyata terbatas pada subkultur regional (Jawa) serta subkultur priyayi sehingga Budi Utomo mengalami keterbatasan dalam memobilisasi anggota golongan-golongan tanpa identitas subkultur tersebut dengan sendirinya ada di luar jangkauannya, reaksi dari golongan itu kemudian terwujud dalam pembentukan organisasi sejenis yang kesemuanya merupakan manifestasi dari identitas golongan masing-masing baik identitas subkultur etnis maupun subkultur kelas atau golongan sosialnya.Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya sebagai mengingatkan saja tetapi juga dipahami betapa semangatnya kaum intelektual pada masa pemerintahan Hindia Belanda untuk menciptakan suatu tujuan yang sama, sehingga menjadi sebuah negara yang bebas dari penjajahan colonial.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H