Pemerintah pada tahun 2019 telah menerapkan kebijakan baru yaitu subsidi pangan yang bernama Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serentak di seluruh Indonesia. Kebijakan tersebut menggantikan kebijakan subsidi pangan yang lama yaitu bantuan beras sejahtera (rastra).Â
Namun, buntut dihapuskannya program rastra akhirnya turut merombak sejumlah kebijakan perberasan yang lain. Â Akibat kebijakan rastra yang selama puluhan tahun sudah"on the track" dihapuskan, telah mengakibatkan dampak yang sangat signifikan dan berimbas bagi bangsa ini. Dampak yang telah dirasakan tentu meningkatnya jumlah kemiskinan berdasarkan laporan ADB.
Serta yang tidak kalah penting adalah BUMN BULOG yang berurusan dengan sektor perberasan dan berada dibawah kendali Kemenko Perekonomian harus menanggung bunga utang Rp 10 Miliar per hari dan diambang kebangkrutan.
Konsep kebijakan perberasan yang sudah dijalankan pemerintah selama puluhan tahun sebenarnya sudah sangat terintegrasi. Telah terjadi keseimbangan antara dua sisi yaitu hulu dan hilir. Dari sisi hulu, pemerintah sudah menugaskan BULOG untuk membeli gabah beras petani sesuai dengan harga yang telah diatur dalam Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sedangkan di sisi hilir, beras yang sudah diserapkan kemudian dibagikan kepada masyarakat miskin melalui program bantuan beras sejahtera (rastra).
Namun, pada awal 2015 pemerintah sudah mengambil ancang-ancang untuk mencoba menggantikan program rastra menjadi e-voucher. Konsep yang mengadopsi model subsidi makanan Amerika Serikat food stamp sudah berganti nama menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Tahun 2017, akhirnya program ini di ujicobakan di 44 Kota besar di Indonesia. Memasuki tahun 2018 ujicoba semakin diperbanyak dan puncaknya pada tahun 2019 program BPNT benar-benar dilaksanakan 100 persen.
Seiring dengan pelaksanaan program BPNT, di sisi yang lain program rastra juga mengalami perubahan. Semula bernama rastra dengan jatah masyarakat 15 kg per bulan dengan harga Rp 1.600 per kg, akhirnya berubah menjadi bansos rastra dengan jatah 10 kg per bulan namun gratis. Tepat pada Agustus 2019, rastra resmi ditiadakan di seluruh Provinsi di Indonesia.
Imbas besar dari pergantian kebijakan tersebut adalah terganggunya program swasembada pangan. Dengan masih tingginya stock beras yang dikuasai BULOG apalagi pada tahun 2019 berkisar 2,3 juta ton, ditambah lagi operasi pasar yang ditargetkan 10 ribu perhari hanya bisa terserap 3-4 ribu saja tentu sangat berdampak terhadap target serapan beras selanjutnya. Apalagi diatas sudah dikatakan oleh Dirut BULOG bahwa ia harus memikirkan bunga utang yang harus ditanggung sebesar 10 miliar per hari.
Harus diingat, bahwa beras merupakan komoditas yang sangat rentan mengalami kerusakan. Jika disimpan dalam waktu yang lama dan mengalami kerusakan tentu kerugian akan ditanggung oleh BULOG dan kembali kepada pemerintah juga akhirnya.
Dampak lanjutan yang sangat fatal dari tidak efektifnya penyerapan gabah/beras petani  adalah kejatuhan harga gabah beras di tingkat petani. Penyerapan yang berkurang di tingkat petani akan membuat para spekulan beras lebih besar memainkan perannya. Mereka akan semaunya menentukan harga gabah maupun beras dikarenakan tidak adanya pesaing dari pihak pemerintah. Peran yang sangat besar dari para mafia pangan tentu saja akan sangat sulit untuk diawasi oleh pemerintah.
Jika hal ini terjadi, anjloknya harga gabah beras pada tingkat petani sudah dapat dipastikan. Fenomena tersebut akan sulit untuk diatasi dan ini muaranya akan berimbas kepada menurunnya kesejahteraan petani sehingga berujung pada kemiskinan yang merajalela di perdesaan. Harus diingat bahwa berdasarkan laporan BPS pada Maret 2018, tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi di banding perkotaan, yaitu 13,47 persen berbanding 7,02 persen.