Penyerapan gabah beras oleh Pemerintah akhir-akhir ini mulai dipertanyakan. Gonjang-ganjing tersebut diawali ketika masa panen raya sudah lewat. Banyak pengamat mulai meragukan jumlah serapan gabah beras petani tahun ini, mencapai target yang telah ditetapkan.Â
Menurut Husein Sawit untuk mengejar target pengadaan beras dalam negeri sebanyak 3,7 juta ton sangatlah mustahil, walaupun dengan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah sebesar 10 persen sehingga menjadi Rp 4.070 (GKP) dan Rp 8.030 (beras kualitas medium).
Hal senada juga diutarakan guru besar IPB Dwi Andreas Sentosa, "kalau kita berbicara realitas yang ada, pencapaian itu akan sulit. Kan 1,7 juta ton sampai Agustus, berarti Bulog perlu menyerap 1,5 juta ton lagi. Sementara, saat ini harga gabah di tingkat petani sudah jauh lebih tinggi dibandingkan Harga Pembelian Pemerintah".
Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah... mengapa semua itu bisa terjadi? karena secara logika, BULOG sudah pernah menyerap beras petani sebanyak 4 juta ton dan pasti tidak akan kesulitan. Disisi lain, data yang direlease selalu menunjukkan surplus produksi. Terus, ada apa dengan tahun ini, apa yang menjadi pokok permasalahannya?
Tulisan ini akan mencoba melihat secara objektif inti atau akar permasalahan yang terjadi. Dengan menyajikan beberapa fakta dari sumber yang valid, dengan harapan semua pihak berkepentingan bisa memahami kondisi perberasan sebenarnya.
Data Produksi Dipertanyakan
Data produksi beras akan ada kaitannya dengan jumlah serapan beras petani oleh pemerintah. Orang awam bisa melihat, ketika produksi surplus ini akan sejalan dengan pembelian BULOG.Â
Logikanya, jika kita benar-benar surplus, produksi beras melimpah maka BULOG tidak akan kesulitan melakukan penyerapan gabah beras petani. Ini sudah menjadi hukum alam atau fenomena biasa dalam ilmu ekonomi. Nyatanya, hingga pertengahan bulan Agustus pengadaan BULOG baru mencapai 1.64 juta ton, atau baru terwujud 44 persen dari target Perum BULOG sebanyak 3,74 juta ton.
Semua orang tahu bahwa beras merupakan komoditas strategis, ekonomis sekaligus politis. Kegagalan dalam memproduksi beras akan sangat besar pengaruhnya terhadap sektor perekonomian lainnya. Ketika data produksi menunjukkan minus, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Masyarakat akan panik, resah, khawatir sehingga keadaan ini akan memicu terjadinya fenomena "panic buying".Â
Kekhawatiran persediaan yang sedikit akan mendorong masyarakat membeli dalam jumlah besar, untuk berjaga-jaga beberapa waktu ke depan. Apa yang terjadi selanjutnya, kekosongan stock di pasaran akan terjadi sehingga potensi kerusuhan sosial dapat saja muncul setiap saat. Kerusuhan sosial sudah pasti akan memukul sektor perekonomian lainnya menjadi stagnan.