Bantuan pangan nontunai (BPNT) yang digembar-gemborkan pemerintah untuk menggantikan rastra tahun depan banyak mengalami hambatan. Tahun 2017, BPNT telah diujicobakan di 44 kabupaten/kota. Terungkap, bahwa uji coba mengalami berbagai kendala dan hambatan. Hal ini berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, Andi Z.A. Dulung di Hotel Sheraton Bandar Lampung Jum'at 4 Agustus 2017. (Detik Lampung).
Keterlambatan BPNT terlihat dari jumlah serapan yang baru 18 persen. Kendalanya antara lain; lambatnya distribusi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) penerima BPNT, bantuan Rp 110.000 ke KKS terlambat, lambatnya pendirian e-waroeng, distribusi barang dari Bulog sering mengalami keterlambatan, mesin EDC dari BRI sering mengalami error hingga terdapat beberapa nama yang dobel dan beberapa nama yang salah.
Kesulitan lain dalam penerapan BPNT di lapangan adalah penyalahgunaan kartu. Sangat sulit memastikan bahwa masyarakat pemegang kartu tidak membeli barang-barang kebutuhan lain. Jika BULOG yang menyediakan seperti tahun ini yaitu komoditas beras 10 Kg dan gula 2 Kg, maka pengawasan penggunaan kartu bisa dilakukan. Namun, tahun 2018 penyedia kebutuhan pokok untuk BPNT ini tidak lagi pemerintah yang dalam hal ini BULOG, tetapi siapa saja bisa (free market). Sehingga, penyalahgunaan kartu seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak bisa saja terjadi.
Bayangkan jika pemegang kartu membeli rokok yang justru bisa membahayakan kesehatan. Alih-alih mau menuntaskan kemiskinan, namun justru pemerintah mengeluarkan banyak anggaran untuk memberi subsidi pada rumah sakit. Namun, ada beberapa dampak kekhawatiran yang lebih besar lagi dari penerapan BPNT, yang mana imbasnya bisa mempengaruhi kestabilan makro ekonomi secara keseluruhan.
Program ini dinilai begitu kontraproduktif dengan kebijakan atau program pemerintah yang sudah dicanangkan sebelumnya. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain :
A. Swasembada pangan
Untuk mendukung program swasembada pangan, pemerintah dalam 3 tahun sudah menggelontorkan anggaran senilai 50 Triliun. Presiden Jokowi memprioritaskan untuk mewujudkan program swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Hasil panen petani tidak semuanya baik, oleh karena itu harus ada yang membelinya yaitu BULOG.
Jika BPNT dilaksanakan tahun depan, artinya akan ada lebih kurang 15,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin yang tidak akan menerima beras raskin sebanyak 2,78 juta ton. Sehingga, jika dikaitkan dengan tugas BULOG melakukan pembelian gabah/beras petani, pasti tidak akan berjalan efektif jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangannya adalah hilangya captive market sebagai tempat penyaluran hasil pembelian beras petani dalam negeri selama ini.
Argumentasinya adalah berkaitan dengan target pengadaan yang ditetapkan oleh pemerintah selama ini yang berkisar di angka 4 juta ton. Jika captive market berupa rastra sebanyak 2,78 juta ton hilang, apakah pemerintah tetap menyuruh BULOG melakukan pengadaan gabah/beras petani sebanyak 4 juta ton? Jawabannya tentu tidak. Namun jika pemerintah tetap memaksakan untuk membeli sebanyak itu, maka potensi kerugian negara bisa dipastikan jika tidak dibarengi dengan penyaluran. Beras membutuhkan perawatan khusus agar tetap layak dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.
b. Stabilisasi harga di tingkat petani
Berkurangnya penyerapan gabah beras di tingkat petani berdampak terhadap potensi kejatuhan harga di tingkat petani. Penyerapan gabah beras yang berkurang di tingkat petani, akan membuat para tengkulak/spekulan/mafia beras lebih besar memainkan peranannya. Mereka dikawatirkan akan semaunya menentukan harga di tingkat petani dikarenakan tidak adanya pesaing dari pihak pemerintah. Peran yang begitu besar dari para mafia pangan, tentu saja akan sangat sulit untuk diawasi oleh pemerintah.
Andaikan memang seperti itu, anjloknya harga gabah beras pada tingkat petani sudah pasti hampir dapat dipastikan. Fenomena tersebut akan sangat sulit untuk diatasi dan ini muaranya akan berimbas kepada kesejahteraan petani. Petani yang sudah lemah kemudian dihadapkan kondisi seperti itu, akan membuat fenomena kemiskinan yang bertambah di perdesaan.