Presiden Jokowi mengatakan bahwa tahun depan bantuan pangan beras sejahtera (Rastra) tidak akan ada lagi. Pemerintah akan mengganti kebijakan itu dengan penyaluran subsidi pangan non tunai. Hal ini dilakukan dalam rangka penyaluran subsidi yang tepat sasaran. Pidato ini disampaikan di gedung DPR, Rabu 16 Agustus 2017 (m.viva.co.id).
Sekedar mengingatkan dan menyegarkan ingatan publik saja, ada beberapa hal yang sepertinya terlihat kontraproduktif dari pernyataan diatas.
Pertama, Pernyataan Thomas Lembong selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang merasa heran menghadapai situasi investasi yang naik terus namun daya beli malah turun (02/08/2017). Umumnya ketika realisasi investasi tumbuh, maka bisa berdampak terhadap terbukanya lapangan pekerjaan hingga akan meningkatkan penghasilan dan kemampuan daya beli masyarakat. Lebih jauh ia menyampaikan bahwa investasi yang masuk adalah investasi padat modal, yang tidak menyerap tenaga kerja terlalu banyak.
Artinya disini, bahwa pemerintah harus mewaspadai kemungkinan bertambahnya masyarakat miskin. Daya beli yang turun dapat menunjukkan bahwa lemahnya kemampuan masyarakat untuk membeli sesuatu. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal yang sangat berkaitan antara satu dengan yang lain seperti; pendapatan masyarakat yang menurun, harga beli barang tersebut yang terlalu tinggi atau mahal hingga faktor pertumbuhan penduduk yang pesat.
Sehingga, jika alasan pemerintah menghapuskan program rastra dengan bantuan pangan non tunai supaya tepat sasaran saya nilai belum begitu tepat. Justru hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dan berpotensi menumbuhkan penyakit-penyakit sosial baru ditengah-tengah masyarakat. Kenapa saya katakan seperti itu... ? semua orang tahu, bahwa program rastra selama ini dikatakan tidak tepat sasaran, karena jatah beras 15 kg per RTS dalam pelaksanaannya di lapangan justru dibagi rata. Orang jawa biasa menyebutnya bagito (bagi roto). Ada yang dibagi 3 hingga masing-masing dapat 5 kg atau dibagi 2 hingga masing-masing mendapat 7,5 kg.
Namun justru inilah keunggulan program rastra sebagai perekat bangsa. Sebenarnya ini juga menunjukkan tingginya tingkat toleransi dan jiwa solidaritas antar warga bangsa ini. Pembagian rastra tidak secara serta merta dilakukan pemerintah setempat, namun melalui mekanisme rembug desa yang mengedepankan nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Sehingga tidak pernah kita dengar, masyarakat saling serang, saling bunuh gara-gara jatah rastra mereka dibagikan ke tetangganya yang juga miskin.
Fakta inilah, yang sekarang memberatkan para perangkat pemerintahan di daerah. Sehingga diberbagai tempat pelaksanaan ujicoba BPNT banyak mengalami kendala atau hambatan. Mereka takut untuk mensosialisasikan, bahwa bantuan non tunai sekarang sudah berbasis by name by addres. Dengan demikian, hanya orang yang namanya "tertera" yang mendapatkan bantuan non tunai tersebut. Mengapa kata-kata tertera yang saya tekankan. Ya, karena faktanya ada warga yang terkadang lebih berhak dibandingkan warga yang namanya tertera di kartu.
Mengapa selama ini bantuan sosial (bansos) non tunai lainnya untuk 6 juta penerima Program Keluarga Harapan (PKH) berjalan sukses dan tidak ada kecemburuan sosial berlebih... ? Hal ini disebabkan karena salah satu faktor, yaitu masih adanya program rastra. Akibat masih adanya kebijakan dimana rastra yang dibagi rata sesama penduduk miskin, sehingga mereka tidak terlalu merasakan himpitan beban ekonomi. Masyarakat miskin yang tidak terdata oleh BPS padahal sejatinya mereka berhak, turut merasakan adanya kehadiran negara. Semua inilah yang membuat nilai-nilai kecemburuan sosial tidak terlalu besar dan bisa menutupi jurang kesenjangan yang dapat timbul.
Lalu, faktor fenomena urbanisasi yang terjadi selama ini, apakah juga tidak diperhitungkan. Bagaimana dengan banyaknya pendatang baru dari luar daerah, kemudian menyewa rumah dan menetap lama namun tidak memiliki identitas. Bagus kalau pendapatannya mencukupi, bagaimana kalau mereka penghasilannya kurang dan termasuk kategori miskin.. ? dan ini, realita yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Pertanyaan lanjutannya, bagaimana kalau rastra benar-benar diganti.. ? Apakah kita yakin bahwa data penduduk miskin sudah tercover 100% di data BPS... ? bagaimana andaikan masih ada penduduk miskin tidak terdata.. ? dan ingat, garis kemiskinan untuk membedakan penduduk miskin dan tidak miskin berbeda tipis. Sehingga, kemungkinan salah pentafsiran di lapangan bisa saja terjadi.
Kedua, Presiden Jokowi menyatakan kekesalannya akibat keterlambatan penyaluran rastra di seluruh Provinsi. Hal ini disampaikannya pada saat membuka sidang kabinet paripurna yang membahas mengenai evaluasi harga-harga bahan pokok dan antisipasi mudik lebaran 2017. Artikel ini bisa dilihat di  DETIKCOM Kamis (22/6/2017) dengan judul Kesalnya Jokowi, Beras untuk Masyarakat Miskin Telat. Justru beliau menganggap hal ini sangat penting dan wajib diberitahu dikarenakan dampak keterlambatan akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Wajar jika Presiden kesal karena menurutnya keterlambatan pembagian rastra ini berdampak pada hasil indikasi ekonomi yang telah disurvei oleh BPS.