Latar Belakang Controlled Foreign Corporation (CFC)
Controlled Foreign Corporation (CFC) merupakan salah satu mekanisme dalam kebijakan perpajakan internasional yang bertujuan mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara. Istilah ini mengacu pada perusahaan asing yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri, di mana laba yang diperoleh perusahaan tersebut, meskipun belum didistribusikan, tetap dapat dikenakan pajak oleh otoritas negara asal pengendali. Kebijakan ini lahir sebagai respons atas meningkatnya fenomena shifting keuntungan ke yurisdiksi pajak rendah (low-tax jurisdictions) atau negara bebas pajak (tax haven) yang menyebabkan basis pajak negara pengendali terkikis. Di Indonesia, pengaturan terkait CFC pertama kali diatur melalui PMK No. 93/PMK.03/2019, yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi inisiatif global seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 3 yang dipimpin oleh OECD.
Fenomena globalisasi ekonomi telah mendorong perusahaan multinasional untuk memanfaatkan celah-celah dalam sistem perpajakan internasional, seperti transfer pricing, thin capitalization, dan eksploitasi tax haven. CFC menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan memastikan bahwa laba yang "ditahan" (retained earnings) tidak lolos dari pengenaan pajak. Di Indonesia, kebijakan ini menjadi relevan karena banyak wajib pajak besar, terutama yang memiliki afiliasi internasional, diduga melakukan praktik penghindaran pajak melalui struktur perusahaan asing yang kompleks.
Meskipun kebijakan CFC memiliki tujuan yang mulia, implementasinya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Kompleksitas dalam regulasi, kurangnya pemahaman wajib pajak, dan terbatasnya sumber daya otoritas pajak menjadi hambatan utama. Sebagai negara berkembang dengan potensi pajak yang besar, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui kebijakan CFC ini. Namun, tanpa dukungan edukasi, reformasi birokrasi, dan teknologi yang memadai, kebijakan ini berisiko tidak efektif atau bahkan menciptakan beban administratif yang berlebihan.
Dari perspektif sosiologis, teori Pierre Bourdieu menawarkan kerangka berpikir yang relevan untuk memahami kompleksitas penerapan CFC di Indonesia. Melalui konsep Praksis, yang terdiri dari tiga elemen utama yaitu Habitus, Kapital, dan Arena, kita dapat menganalisis bagaimana perilaku wajib pajak, distribusi modal, dan struktur institusional memengaruhi keberhasilan atau kegagalan kebijakan perpajakan ini. Habitus mencerminkan kebiasaan dan pola pikir wajib pajak terhadap peraturan, Kapital mengacu pada sumber daya yang dimiliki, baik ekonomi, sosial, maupun simbolik, sedangkan Arena adalah ruang di mana aktor-aktor seperti otoritas pajak, konsultan, dan perusahaan multinasional berinteraksi dan bersaing.
Dalam konteks kebijakan CFC, Habitus wajib pajak multinasional sering kali didominasi oleh pemikiran untuk meminimalkan kewajiban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan dalam regulasi. Di sisi lain, distribusi Kapital yang tidak merata, seperti akses terhadap penasihat pajak internasional, menempatkan perusahaan besar pada posisi yang jauh lebih unggul dibandingkan otoritas pajak atau entitas kecil. Arena regulasi pajak menjadi medan kompetisi di mana negara harus menghadapi tantangan untuk menegakkan aturan sambil tetap menjaga daya saing ekonomi.
Dengan pendekatan teori Praksis, kita dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, seperti peningkatan penerimaan pajak dan transparansi fiskal, serta tantangan yang harus dihadapi, termasuk resistensi dari wajib pajak dan kesenjangan modal. Tulisan ini akan menguraikan lebih lanjut bagaimana teori Pierre Bourdieu dapat digunakan sebagai kerangka analisis untuk memahami dinamika implementasi kebijakan CFC di Indonesia.
Teori Pierre Bourdieu
Teori Pierre Bourdieu adalah kerangka konseptual yang menekankan hubungan antara struktur sosial, individu, dan praktik dalam masyarakat. Bourdieu mengembangkan berbagai konsep kunci untuk memahami dinamika sosial, termasuk habitus, kapital, arena (field), dan doxa. Teorinya sering digunakan untuk menganalisis bagaimana kekuasaan dan dominasi direproduksi dalam berbagai konteks sosial.
1. Habitus
Habitus adalah konsep dalam teori Pierre Bourdieu yang menggambarkan kumpulan disposisi, kecenderungan, atau pola pikir yang dibentuk melalui pengalaman sosial seseorang. Habitus terbentuk sejak dini melalui proses sosialisasi, seperti dalam keluarga, pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Disposisi ini mencerminkan cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak di dunia sosial, yang pada dasarnya bersifat tidak disadari atau implicit. Dengan kata lain, habitus adalah "cara berada" seseorang yang secara konsisten mencerminkan pengaruh dari konteks sosial di mana ia dibentuk. Sebagai contoh, seseorang yang tumbuh dalam keluarga akademisi cenderung memiliki kebiasaan, nilai, dan cara berpikir yang menghargai pendidikan formal.
Habitus tidak hanya bersifat individual tetapi juga kolektif, karena individu dalam kelompok sosial yang sama cenderung mengembangkan disposisi yang serupa. Habitus bersifat dinamis---mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial, tetapi juga memiliki elemen yang stabil karena akar pembentukannya yang mendalam. Dalam praktik sosial, habitus memengaruhi cara seseorang menggunakan berbagai bentuk kapital (ekonomi, sosial, budaya) dalam arena tertentu. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki habitus bisnis akan secara alami cenderung mengambil risiko dan berinovasi dalam konteks ekonomi, berbeda dengan habitus akademik yang lebih menekankan pada pengembangan pengetahuan. Habitus ini menjadi kunci dalam memahami bagaimana struktur sosial direproduksi atau bahkan diubah oleh tindakan individu.
Ciri-ciri habitus:
- Terbentuk melalui sosialisasi sejak dini dalam keluarga, pendidikan, dan masyarakat
- Bersifat tidak disadari (tacit), sehingga individu sering tidak menyadari pengaruhnya
- Adaptif terhadap lingkungan tertentu, tetapi cenderung bertahan meskipun lingkungan berubah.
Contoh:
Seseorang yang tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang akademik cenderung memiliki habitus yang menghargai pendidikan formal.
2. Kapital
Kapital dalam teori Pierre Bourdieu adalah konsep kunci yang merujuk pada berbagai bentuk sumber daya yang dimiliki individu atau kelompok yang dapat digunakan untuk mendapatkan posisi dominan atau keuntungan dalam arena sosial. Bourdieu membagi kapital menjadi empat jenis utama: kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik. Kapital ekonomi mencakup kekayaan material, seperti uang atau aset yang dapat diinvestasikan. Kapital budaya terdiri dari keterampilan, pendidikan, pengetahuan, atau bentuk lain dari nilai-nilai intelektual yang diakui oleh masyarakat. Kapital sosial mengacu pada jaringan hubungan atau koneksi yang dapat digunakan untuk mendukung dan memperkuat posisi seseorang dalam masyarakat. Sementara itu, kapital simbolik adalah pengakuan atau legitimasi yang diperoleh melalui bentuk kapital lainnya, seperti reputasi, status sosial, atau kehormatan.
Setiap jenis kapital memiliki perannya masing-masing dalam mendukung kekuasaan atau pengaruh seseorang di dalam suatu arena. Misalnya, dalam dunia pendidikan, kapital budaya seperti gelar akademik atau keahlian spesifik menjadi alat penting untuk memperoleh posisi sosial yang lebih tinggi. Namun, kapital-kapital ini tidak bekerja secara terpisah; mereka saling berinteraksi dan dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya melalui strategi tertentu. Sebagai contoh, seseorang dapat menggunakan kapital ekonomi untuk mendapatkan pendidikan (kapital budaya) atau membangun jaringan sosial (kapital sosial). Dengan cara ini, kapital menjadi alat utama dalam mempertahankan atau mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Ada empat jenis kapital:
- Kapital Ekonomi: Kekayaan material, seperti uang, properti, atau aset.
- Kapital Sosial: Jaringan relasi sosial yang dapat memberikan akses atau dukungan
- Kapital Budaya: Pengetahuan, pendidikan, atau keterampilan yang dihargai dalam masyarakat tertentu. Kapital budaya mencakup:
- Inkorporasi (embodied): Pengetahuan atau keterampilan yang melekat pada individu.
- Objektivasi (objectified): Objek budaya seperti buku atau karya seni.
- Institusionalisasi: Gelar pendidikan atau sertifikasi formal
- Kapital Simbolik: Pengakuan atau legitimasi sosial yang diakui oleh masyarakat, seperti status atau prestise.
Contoh:
Gelar pendidikan tinggi dapat dianggap sebagai kapital budaya yang meningkatkan peluang kerja.
3. Arena (Field)
Arena (atau field) dalam teori Pierre Bourdieu merujuk pada ruang sosial spesifik tempat individu, kelompok, atau institusi berinteraksi dan berkompetisi untuk memperoleh kapital dan posisi dominan. Setiap arena memiliki logika atau aturan main yang unik, yang dikenal sebagai nomos. Aturan ini menentukan cara kapital (ekonomi, budaya, sosial, atau simbolik) dipersebutkan dan diakumulasi oleh aktor di dalamnya. Contoh arena adalah dunia pendidikan, politik, seni, atau ekonomi. Dalam dunia pendidikan, misalnya, gelar akademik dan pengakuan intelektual berfungsi sebagai kapital budaya yang menentukan hierarki posisi seseorang dalam arena tersebut.
Arena bersifat otonom tetapi tetap saling terkait dengan arena lain dalam struktur sosial yang lebih luas. Dinamika kompetisi dalam sebuah arena melibatkan perebutan kekuasaan dan legitimasi di antara aktor dengan habitus yang berbeda. Mereka yang memiliki kapital lebih banyak cenderung mendominasi dan menetapkan norma serta aturan main. Namun, individu atau kelompok yang lebih lemah juga dapat mencoba mengubah aturan melalui inovasi atau resistensi. Misalnya, dalam arena politik, kandidat baru sering kali menantang status quo dengan menawarkan wacana yang berbeda untuk menarik dukungan dari elemen masyarakat tertentu. Dengan demikian, arena tidak hanya mencerminkan hubungan kekuasaan tetapi juga menjadi tempat reproduksi dan transformasi struktur sosial.
Karakteristik arena:
- Beragam, seperti arena ekonomi, pendidikan, seni, atau politik.
- Dipengaruhi oleh distribusi kapital di dalamnya
- Ada konflik antaraktor karena perbedaan kepentingan dan akses terhadap kapital.
Contoh:
Dalam arena pendidikan, guru dan siswa memiliki peran berbeda, dan keberhasilan siswa tergantung pada kapital budaya serta habitus yang dimilikinya.
4. Doxa
Doxa merujuk pada keyakinan atau norma yang diterima begitu saja dalam arena tertentu. Keyakinan ini dianggap sebagai "kebenaran" dan jarang dipertanyakan. Doxa adalah konsep dalam teori Pierre Bourdieu yang merujuk pada keyakinan, nilai, atau norma yang diterima secara alami dalam suatu arena (field) sosial. Doxa mencakup segala sesuatu yang dianggap sebagai "kebenaran universal" oleh individu atau kelompok tanpa perlu dipertanyakan atau diperdebatkan. Keyakinan ini muncul dari struktur sosial yang telah mapan dan cenderung diinternalisasi oleh aktor sosial sebagai bagian dari habitus mereka. Dengan kata lain, doxa adalah aturan main atau asumsi dasar yang membentuk persepsi dan tindakan aktor dalam suatu arena, sehingga keberadaannya sulit disadari. Misalnya, dalam dunia pendidikan, keyakinan bahwa pendidikan formal adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah sebuah doxa yang diterima banyak orang tanpa mempertanyakan alternatif lain.
Doxa berfungsi untuk mempertahankan stabilitas struktur sosial karena aktor cenderung mengikuti norma yang sudah mapan tanpa melakukan kritik atau resistensi. Dalam banyak kasus, doxa membantu mereproduksi kekuasaan yang ada karena ia mendukung dominasi kelompok tertentu yang memiliki kapital lebih besar di dalam arena tersebut. Namun, doxa tidak sepenuhnya kaku. Ketika aktor mulai menyadari kontradiksi atau ketidakadilan dalam norma yang berlaku, doxa dapat ditantang, dan ini memunculkan ruang untuk heterodoxa---gagasan atau praktik alternatif yang bertentangan dengan keyakinan dominan. Proses ini sering kali menjadi sumber transformasi sosial. Contohnya, dalam konteks ekonomi global, munculnya kritik terhadap kapitalisme neoliberal dapat dilihat sebagai tantangan terhadap doxa yang telah lama mendominasi wacana ekonomi dunia.
Fungsi doxa:
- Membentuk cara pandang aktor terhadap arena
- Mendukung reproduksi struktur kekuasaan karena aturan yang diterima tanpa kritik.
Contoh:
Keyakinan bahwa pendidikan tinggi adalah jalan utama menuju kesuksesan ekonomi dapat dianggap sebagai doxa dalam banyak masyarakat modern.