Mohon tunggu...
JULIUS FRANSISKUS
JULIUS FRANSISKUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110005 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 || Pajak International || Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   23:02 Diperbarui: 25 November 2024   23:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Kompleksitas Peraturan

Salah satu tantangan utama dalam penerapan kebijakan CFC di Indonesia adalah kompleksitas peraturan yang tercantum dalam PMK No. 93/PMK.03/2019. Peraturan ini membutuhkan penyesuaian yang signifikan dalam sistem perpajakan domestik, khususnya dalam mendefinisikan penghasilan pasif, mengidentifikasi entitas asing yang dikendalikan, dan menghitung penghasilan kena pajak. Tanpa pemahaman yang memadai, wajib pajak dan bahkan petugas pajak sering mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan aturan ini secara efektif.

Contoh nyata dari kompleksitas ini adalah bagaimana perusahaan multinasional dengan struktur yang sangat tersegmentasi memanfaatkan celah regulasi. Sebagai contoh, perusahaan sering kali memanfaatkan perjanjian bilateral yang berbeda untuk mengalihkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke yurisdiksi dengan pajak rendah, sehingga menghindari aturan CFC. Sistem pengawasan dan penghitungan otomatis yang belum sepenuhnya terintegrasi di Indonesia membuat otoritas pajak kesulitan dalam melacak transaksi-transaksi kompleks ini.

Untuk mengatasi hambatan teknis ini, diperlukan penyederhanaan regulasi dan peningkatan kapasitas teknis otoritas pajak. Penyesuaian regulasi dapat mencakup penetapan pedoman yang lebih jelas mengenai jenis penghasilan yang dianggap pasif serta penggunaan teknologi big data untuk mendeteksi pola penghindaran pajak. Langkah ini dapat meningkatkan kepatuhan dan efektivitas implementasi kebijakan CFC.

2. Habitus Pembayar Pajak

Habitus atau pola pikir pembayar pajak menjadi salah satu kendala besar dalam implementasi kebijakan CFC. Di Indonesia, kesadaran pajak masyarakat umumnya masih rendah, terutama di kalangan wajib pajak yang memiliki entitas di luar negeri. Banyak perusahaan yang memandang kebijakan CFC sebagai penghalang efisiensi bisnis, sehingga mereka cenderung mencari cara untuk menghindari aturan tersebut daripada mematuhinya.

Perbedaan pola pikir antara wajib pajak domestik dan multinasional juga menjadi tantangan. Wajib pajak multinasional biasanya memiliki kebiasaan atau habitus yang dibentuk oleh norma-norma global, di mana penghindaran pajak dianggap sebagai strategi bisnis yang sah. Sementara itu, wajib pajak domestik cenderung mematuhi regulasi nasional tetapi menghadapi kendala teknis dalam memahami aturan yang lebih kompleks seperti CFC.

Untuk mengubah habitus ini, pemerintah perlu berfokus pada edukasi perpajakan yang menekankan pentingnya kepatuhan pajak untuk mendukung pembangunan nasional. Kampanye yang menggambarkan manfaat nyata dari penerimaan pajak bagi masyarakat luas dapat membantu membangun kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial. Selain itu, insentif pajak yang diberikan kepada wajib pajak patuh dapat mendorong perilaku yang lebih positif.

3. Kesenjangan Kapital

Kesenjangan kapital antara otoritas pajak dan entitas besar menciptakan ketimpangan yang signifikan dalam implementasi kebijakan CFC. Perusahaan multinasional memiliki kapital ekonomi yang sangat besar, termasuk sumber daya untuk menyewa konsultan pajak internasional atau membangun struktur perusahaan yang kompleks di berbagai yurisdiksi. Sementara itu, otoritas pajak sering kali kekurangan modal sosial dan budaya untuk memahami serta menangani strategi-strategi agresif tersebut.

Selain itu, ketergantungan wajib pajak besar pada penasihat pajak dengan pendekatan agresif menambah tantangan. Penasihat pajak sering kali membantu perusahaan menemukan celah dalam regulasi yang memungkinkan mereka untuk mengurangi beban pajak. Tanpa sistem pengawasan yang efektif, praktik ini terus berlanjut dan merugikan penerimaan pajak negara.

Untuk mengurangi kesenjangan ini, otoritas pajak perlu berinvestasi dalam teknologi modern untuk meningkatkan kapasitas pengawasan, seperti penggunaan kecerdasan buatan dan analisis data besar. Selain itu, kerja sama dengan lembaga internasional untuk meningkatkan akses terhadap informasi keuangan global dapat membantu otoritas pajak menyeimbangkan posisi mereka dengan perusahaan multinasional.

4. Persaingan Arena Global

Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya saingnya di arena global sambil tetap menerapkan kebijakan perpajakan yang ketat. Salah satu risiko utama adalah arbitrase pajak, di mana perusahaan multinasional memindahkan laba mereka ke negara-negara dengan aturan CFC yang lebih longgar atau tanpa aturan sama sekali. Hal ini dapat mengurangi daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing langsung (FDI).

Penyesuaian dengan perkembangan global, seperti inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD dan Pilar 2 yang mengusulkan pajak minimum global, menjadi tantangan lainnya. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan CFC-nya sejalan dengan standar internasional, tetapi tanpa mengorbankan daya tariknya sebagai lokasi investasi. Keseimbangan ini memerlukan kebijakan yang cerdas dan fleksibel.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi internasional, misalnya melalui perjanjian multilateral yang mendukung penerapan kebijakan CFC secara konsisten di berbagai negara. Selain itu, memberikan insentif kepada perusahaan yang mematuhi aturan perpajakan dan tetap berinvestasi di Indonesia dapat menjadi solusi untuk menjaga daya saing global sambil mematuhi prinsip-prinsip perpajakan internasional.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Strategi Mengoptimalkan Potensi CFC

1. Transformasi Habitus

Transformasi habitus wajib pajak adalah langkah awal yang sangat penting untuk mengoptimalkan potensi kebijakan CFC. Edukasi perpajakan harus dirancang untuk meningkatkan literasi pajak masyarakat dan perusahaan, khususnya dalam memahami dampak positif dari kepatuhan pajak terhadap perekonomian negara. Kampanye yang menonjolkan pentingnya kontribusi pajak dalam pembangunan dapat membantu mengubah pola pikir wajib pajak.

Selain itu, insentif pajak dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong perubahan perilaku. Misalnya, memberikan keringanan pajak kepada perusahaan yang secara sukarela mendeklarasikan pendapatan dari entitas asing mereka dapat menciptakan iklim kepatuhan yang lebih kondusif. Insentif ini juga dapat mendorong perusahaan multinasional untuk lebih transparan dalam pelaporan keuangan mereka.

Pendekatan lain adalah dengan mengintegrasikan pendidikan perpajakan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, khususnya untuk program studi bisnis dan akuntansi. Hal ini bertujuan untuk membangun habitus pajak yang positif sejak dini, sehingga generasi mendatang lebih sadar akan pentingnya kepatuhan pajak dalam mendukung pembangunan negara.

2. Penguatan Kapital

Investasi dalam infrastruktur teknologi menjadi prioritas untuk memperkuat kapital otoritas pajak dalam mengimplementasikan kebijakan CFC. Penggunaan teknologi big data dan kecerdasan buatan dapat membantu otoritas pajak menganalisis pola transaksi lintas negara secara efisien. Selain itu, sistem pengawasan otomatis dapat mendeteksi potensi penghindaran pajak sejak dini.

Modal sosial juga perlu diperkuat melalui kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah dapat membangun kemitraan dengan organisasi internasional dan perusahaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas teknis dan operasional otoritas pajak. Kolaborasi ini juga dapat mencakup pelatihan bagi petugas pajak untuk memahami strategi penghindaran pajak yang rumit.

Penguatan kapital simbolik, seperti peningkatan kredibilitas otoritas pajak melalui transparansi dan konsistensi dalam penegakan hukum, juga penting. Ketika wajib pajak melihat bahwa otoritas pajak memiliki integritas dan kapasitas yang memadai, mereka cenderung lebih patuh dan kooperatif.

3. Pengelolaan Arena

Arena perpajakan, sebagai ruang interaksi antara aktor-aktor dengan kepentingan yang berbeda, perlu dikelola secara strategis untuk memastikan keadilan dan efisiensi. Penegakan hukum yang tegas, terutama terhadap kasus penghindaran pajak, dapat menciptakan efek jera bagi wajib pajak yang tidak patuh. Namun, penegakan hukum ini harus disertai dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan.

Pengawasan lintas negara menjadi elemen kunci dalam pengelolaan arena perpajakan. Indonesia perlu memperkuat kerja sama internasional melalui inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEoI) dan forum-forum internasional lainnya. Dengan akses ke data keuangan global, otoritas pajak dapat lebih mudah melacak transaksi yang mencurigakan dan menegakkan kebijakan CFC.

Reformasi birokrasi juga diperlukan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak. Proses administrasi yang lebih sederhana dan transparan akan memudahkan wajib pajak untuk mematuhi aturan, sekaligus mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang oleh oknum tertentu. Langkah-langkah ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam arena perpajakan global.


Kesimpulan

Peluang dan tantangan dalam penerapan kebijakan Controlled Foreign Corporation (CFC) di Indonesia dapat dijelaskan melalui kerangka teori PRAKSIS Pierre Bourdieu, yang mengintegrasikan konsep Habitus, Kapital, dan Arena. Kebijakan CFC menghadirkan peluang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak negara dan mengurangi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Namun, tantangan yang melibatkan pola pikir wajib pajak, kesenjangan sumber daya, dan dinamika global memerlukan perhatian khusus agar kebijakan ini berjalan efektif.

Habitus wajib pajak memainkan peran penting dalam menentukan tingkat keberhasilan kebijakan ini. Dengan pola pikir yang cenderung mencari celah regulasi untuk efisiensi pajak, banyak perusahaan memilih untuk menghindari kepatuhan. Kesenjangan kapital, baik dalam bentuk teknologi maupun modal sosial, juga menghambat otoritas pajak untuk bersaing secara setara dengan entitas besar yang memiliki sumber daya melimpah. Arena perpajakan global yang terus berkembang menciptakan tantangan tambahan dalam menyeimbangkan kebutuhan domestik dengan dinamika internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun