Mohon tunggu...
JULIUS FRANSISKUS
JULIUS FRANSISKUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110005 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kuis 01 || Pajak International || Pajak Internasional dan Yurisdiksi Pemajakan (CPMK-01)|| Prof. Apollo

17 September 2024   11:17 Diperbarui: 17 September 2024   11:43 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pajak Dalam Fikih Muamalah

Secara umum, pajak dapat diartikan sebagai iuran yang dibebankan oleh negara kepada warga negara untuk memenuhi kebutuhan publik, seperti keamanan, pendidikan, kesehatan serta insfrastruktur. Besaran nilai pajak yang dibebankan kepada masyarakat sesungguhnya telah di atur sedemikian rupa oleh negara agar pembebanan itu menekankan asas keadilan.

Di negara Indonesia yang memiliki sekitar 87% jumlah penganut agama Islam, sistem pajak yang diterapkan tidak menganut hukum islam. Dalam Islam, pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan sesuai dengan tujuan syariah (maqasid al-shariah), yaitu mencapai kemaslahatan umat (maslahah). Namun justru yang terjadi adalah Pajak di Indonesia secara umum mengandung konteks Daribah dan Maks .

Daribah adalah istilah Arab yang secara umum berarti pajak atau pungutan. Dalam konteks fikih muamalah, arbh merujuk pada pajak yang ditetapkan oleh pemerintah untuk membiayai kebutuhan publik, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Sedangkan Maks secara lebih spesifik merujuk pada jenis pajak atau pungutan yang dianggap tidak adil atau ilegal menurut syariah. Istilah ini sering dikaitkan dengan pungutan yang berlebihan atau yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Dua istilah ini menghasilkan paradoks realitas antara pemungut, pemberi dan penerima. Pemungut pajak dalam hal ini adalah pemerintah yang mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi kepada orang - orang yang dianggap kaya. Orang kaya sebagai pemberi atau pembayar pajak, secara umum cenderung merupakan orang yang telah bekerja lebih keras dengan berbagai faktor lainnya, sehingga mereka dapat mengumpulkan penghasilan yang lebih banyak. Mereka dipaksa untuk memberi lebih tinggi. Kemudian Si penerima manfaat, yang mungkin tidak bekerja lebih keras dari orang kaya, menikmati manfaat dari hasil kerja keras orang kaya. Mereka tanpa harus bekerja pun dapat menikmati fasilitas kesehatan gratis, transportasi gratis dan sebagainya, hal itu mereka dapatkan dari cerukan harta orang kaya.

Fenoma paradoks itulah yang menunjukan bahwa Pajak yang digambarkan sebagai alat keadilan, tapi secara nyata tidak benar - benar mewakili sifat keadilan. Sehingga kembali dapat dikatakan bahwa sistem perpajakan yang ada masih mengandung unsur Daribah dan Maks.

Tasawuf Maqom Asbab dan Maqom Tajrid dalam penerapan perpajakan

Mengaitkan konsep pajak dengan konsep tasawuf yaitu Maqom Asbab dan Maqom Tajrid memberikan perspektif spritual yang lebih dalam mengenai pajak dan hubungan manusia dengan urusan duniawi.

Tasawuf Maqom Asbab

Maqom Asbab merupakan kondisi dimana seseorang masih terhubung dengan hal - hal yang bersifat duniawi. Dalam konsep ini, pajak dipandang sebagai bagian dari usaha di dunia untuk mencapai kemaslahatan masyarakat. Dalam Maqom ini, pajak tidak dapat dihindari sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat sosial dan demi kepentingan masyarakat umum. Pajak dalam konsep ini merupakan tanggungjawab finansial warga negara demi keberlangsungan kegiatan penyelenggaraan negara. Membayar pajak juga dapat dilihat sebagai bentuk kepatuhan kepada otoritas yang sah, yang juga merupakan bentuk ibadah karena mentaati pemerintah adalah bagian dari syariah jika pemerintah tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang adil dan berkeadilan.

Tasawuf Maqom Tajrid

Maqom Tajrid merupakan kondisi dimana seseorang sudah tidak terhubung dengan hal - hal yang bersifat duniawi, dan hanya memikirkan hal -- hal yang bersifat ketuhanan. Jika seseorang sudah berada dalam kondisi ini, orang tersebut telah melepaskan diri dari hal yang bersifat duniawi termasuk pajak. Pajak tidak lagi dianggap sebagai sesutu yang memberatkan, namun lebih kepada sarana kepatuhan dan pengabdian terhadap syariah.  Berbeda dengan Maqom Asbab yang menganggap pajak sebagai tanggungjawab finansial, Maqom ini menganggap harta sebagai titipan yang diberikan oleh Tuhan dan sudah selayaknya dikembalikan kepada Tuhan, salah satu caranya adalah dengan membayar pajak.

Keduanya memberikan perspektif yang berbeda tetapi saling melengkapi, yang mendorong seorang Muslim untuk menjalankan kewajiban duniawi, termasuk pajak, dengan landasan spiritual yang mendalam. Pajak tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual menuju ridha Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun