Meme memiliki kelebihan dalam hal simplicity dan viralitas. Dengan kata lain, meme dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan dengan cara yang lebih cepat daripada konten politik lainnya. Mengutip dari penelitian Pew Research Center (2023), meme yang beredar di media sosial cenderung lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena sering kali menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan tidak formal, serta mengandung elemen hiburan yang menyenangkan. Hal ini membuat meme menjadi alat komunikasi politik yang sangat efektif, terutama dalam memengaruhi audiens yang lebih muda.
Namun, meskipun meme dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun citra politik, ia juga dapat memperburuk polarisasi politik. Polarisasi politik di Indonesia telah menjadi fenomena yang semakin tajam, dengan kelompok-kelompok pendukung yang semakin terpisah berdasarkan pilihan politik mereka. Polarisasi ini semakin diperburuk oleh penyebaran meme yang menjelek-jelekkan lawan politik. Meme sering kali mengandung sindiran atau bahkan serangan pribadi yang dapat memperburuk hubungan antara pendukung berbagai kubu politik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Komunikasi Politik Indonesia (2023) menunjukkan bahwa media sosial, yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan diskusi politik yang sehat, justru semakin memperburuk polarisasi, karena platform ini cenderung memperkuat pandangan yang sudah ada melalui algoritma yang memfilter informasi yang diterima pengguna berdasarkan preferensi mereka.
Selain meme, penggunaan hashtag juga menjadi strategi penting dalam pencitraan politik di media sosial. Hashtag memungkinkan politisi untuk menciptakan narasi yang mereka inginkan, serta memobilisasi dukungan publik. Dengan menciptakan hashtag yang catchy, seperti #AniesForPresident atau #NazarPemilu, politisi dapat menciptakan kesan bahwa mereka memiliki dukungan besar di kalangan masyarakat. Hashtag ini memungkinkan pesan politik untuk tersebar luas dan menjadi bagian dari percakapan publik. Menurut laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) (2022), penggunaan hashtag yang tepat dapat meningkatkan visibilitas kandidat dan membantu mereka tampil lebih populer di media sosial. Hashtag juga membantu menciptakan kesan bahwa kandidat tersebut memiliki legitimasi yang kuat di mata publik, meskipun sering kali hal ini lebih didorong oleh tren daripada oleh kebijakan atau prestasi politik yang substansial.
Namun, keberhasilan penggunaan hashtag juga tidak terlepas dari potensi disinformasi. Sebuah laporan dari Verifikasi Fakta Indonesia (2023) menunjukkan bahwa beberapa hashtag yang digunakan dalam kampanye politik sering kali berisi informasi yang tidak benar atau bahkan hoaks, yang kemudian disebarkan oleh para pendukung dengan tujuan untuk merusak citra lawan politik. Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, berbagai informasi palsu yang menyebutkan tentang kebijakan yang diambil oleh calon presiden tersebar dengan menggunakan hashtag tertentu. Hal ini menyebabkan kebingungannya masyarakat dan memperburuk iklim politik di Indonesia.
Selain itu, platform seperti Instagram dan TikTok telah memainkan peran besar dalam pencitraan politik. Politisi kini tidak hanya mengandalkan pidato atau debat formal untuk menarik perhatian publik, tetapi mereka juga menggunakan video pendek, foto-foto personal, dan konten visual lainnya untuk memperkenalkan sisi manusiawi mereka. Di TikTok, misalnya, politisi dapat menggunakan tren viral atau tantangan untuk menunjukkan bahwa mereka juga bagian dari generasi muda yang mengikuti perkembangan zaman. Dengan cara ini, mereka menciptakan citra yang lebih relatable, sehingga semakin mudah untuk menarik simpati pemilih muda.
Sementara itu, Instagram berfungsi lebih untuk membangun branding visual politisi. Politisi sering kali memanfaatkan Instagram untuk menampilkan sisi personal mereka, seperti kegiatan sehari-hari, pertemuan dengan masyarakat, atau kegiatan sosial lainnya. Branding visual ini bertujuan untuk menciptakan citra bahwa politisi tersebut dekat dengan rakyat, memiliki empati, dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan berbagai lapisan masyarakat. Hal ini sejalan dengan temuan dari Pew Research Center (2023) yang mengungkapkan bahwa citra personal sangat berpengaruh dalam menarik dukungan pemilih muda yang lebih memilih tokoh politik yang tampak autentik dan tidak terkesan hanya mengejar suara.
Namun, meskipun pendekatan ini efektif dalam memperkenalkan politisi secara lebih pribadi, ia juga memiliki kelemahan. Seperti yang dicatat dalam laporan Kompas (2023), media sosial sering kali lebih fokus pada citra dan penampilan daripada kebijakan yang ditawarkan oleh politisi. Hal ini menciptakan politik yang lebih bersifat simbolis daripada substantif, di mana politisi lebih sering memperlihatkan diri mereka sebagai "pemimpin yang dekat dengan rakyat" daripada membahas solusi konkret untuk permasalahan sosial yang ada.
Evolusi komunikasi politik dan masa depan media sosial dalam menilai keberhasilan strategi pencitraan politik melalui media sosial, penting untuk mencermati lebih jauh bagaimana media ini tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga arena untuk pembentukan identitas politik yang lebih cair dan dinamis. Dalam era digital, komunikasi politik tidak lagi bersifat satu arah. Sebaliknya, masyarakat memiliki peran aktif dalam menyebarkan, memodifikasi, atau bahkan menciptakan ulang narasi yang dibuat oleh politisi. Proses ini, yang dikenal sebagai co-creation, memungkinkan masyarakat untuk terlibat langsung dalam mendukung atau mengkritisi politisi dengan menggunakan alat yang sama: meme, hashtag, atau tren viral.
Fenomena co-creation terlihat jelas dalam kampanye-kampanye yang melibatkan dukungan spontan dari komunitas daring. Sebagai contoh, selama Pilpres 2019, pendukung dari kedua kubu (Jokowi dan Prabowo) aktif membuat konten kreatif, mulai dari meme hingga video parodi, yang tidak hanya menyebarkan pesan politik tetapi juga menciptakan "brand politik" kandidat mereka. Hal ini mencerminkan kekuatan media sosial sebagai ruang partisipasi politik yang inklusif, di mana masyarakat dapat mengekspresikan pandangan mereka tanpa harus terlibat langsung dalam kegiatan kampanye formal.
Namun, fenomena ini juga memiliki sisi gelap. Disinformasi sering kali tumbuh subur dalam proses co-creation, di mana informasi yang tidak akurat atau bahkan palsu tersebar luas sebagai bagian dari narasi politik. Sebuah studi oleh Oxford Internet Institute (2023) menemukan bahwa lebih dari 70% konten politik yang viral di media sosial pada masa kampanye cenderung mengandung informasi yang dipertanyakan validitasnya. Hal ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk memprioritaskan konten yang viral, bukan yang akurat.