Setiap manusia memiliki kehendaknya masing-masing. Karena itulah, manusia sering kali sulit memahami satu sama lain. Aku ingin seperti ini, tetapi dia ingin seperti itu. Aku ingin begitu, tetapi kamu maunya begini. Lantas, bagaimana aku bisa mengasihi kamu dan dia jika kehendak kita tidak sejalan? Apakah aku harus menekan kehendakku demi menyayangimu dan dia? Bukankah itu justru melemparkan aku ke dalam jurang penderitaan?
Jika aku harus membunuh kehendakku demi diterima oleh kamu dan dia, maka aku kehilangan diriku sendiri. Hubungan antar manusia sering kali membuat seseorang harus menekan kehendaknya agar diterima oleh masyarakat. Namun, apakah pengorbanan itu berarti? Apakah menekan kehendak demi diterima tidak justru menciptakan keterasingan baru?
Terkadang, manusia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya karena kehendaknya berbenturan dengan kehendak orang lain. Ia berharap orang lain menekan kehendaknya sebagaimana ia menekan kehendaknya sendiri. Tapi sering kali, harapan itu tak terwujud. Inilah yang membuat banyak orang merasa kosong, kehilangan makna, bahkan tragisnya, ada yang memilih untuk mengakhiri hidup.
Kehendak, Kebebasan, dan Keterasingan
Keberadaan manusia di dalam waktu---di masa lalu, sekarang, atau masa depan---tidak pernah lepas dari kehendaknya untuk berada. Namun, sering kali manusia tidak bisa menerima kehendak sesamanya. Akibatnya, kehendak menjadi sesuatu yang sangat berharga, seperti barang mahal yang hanya segelintir orang bisa miliki.
Pada dasarnya, kehendak adalah bebas. Namun, kehendak yang bebas itu kini terhalang oleh norma-norma sosial yang sering kali disebut fatamorgana. Norma-norma ini menciptakan ilusi keteraturan, tapi di baliknya, mengungkung kebebasan manusia. Jika manusia kehilangan kehendak bebasnya, apakah ia masih bisa disebut manusia seutuhnya?
Sebagian orang menganggap ini masalah sepele. "Apa susahnya? Kan tinggal ikut saja," begitu kata mereka. Namun, jika benar sesederhana itu, mengapa masih banyak orang yang merasa terasing? Mengapa masih banyak yang munafik, memuaskan kehendaknya secara diam-diam?
Norma Fatamorgana
Masalah kehendak bukan hal sederhana. Ini adalah persoalan mendasar yang menyentuh inti eksistensi manusia. Tidak heran jika anak-anak dan orang gila sering kali disebut sebagai perwujudan kebebasan sejati---karena mereka tidak terikat norma-norma ini.
Namun, bagaimana dengan manusia dewasa? Tidak ada salahnya untuk mengikuti norma sosial demi menjadi bagian dari masyarakat. Tetapi, apakah kita rela mengorbankan kehendak yang membuat kita manusia seutuhnya hanya demi diterima oleh tatanan sosial yang sebenarnya tidak kita inginkan?
Pengorbanan itu pun tidak menjamin kebahagiaan. Bahkan di tengah masyarakat, seseorang tetap bisa jatuh ke dalam keterasingan. Pandangan orang lain terhadap kita tidak sesederhana itu. Bahkan, manusia yang mencoba berbeda sering kali diasingkan, hingga ia sendiri kehilangan kepercayaan bahwa ia adalah manusia seutuhnya.
Masalah kehendak adalah inti dari pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia. Kehendak tidak hanya sekadar keinginan, tetapi juga wujud dari kebebasan dan identitas kita. Apakah kita rela menyerahkannya begitu saja? Ataukah kita harus terus berjuang untuk mempertahankan apa yang membuat kita hidup dengan makna?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H