Semua orang pernah mengalami permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan itu terkadang menjadi semakin rumit dan sulit untuk dipahami sehingga kita tenggelam di dalamnya. Ketika tenggelam, kita mengharapkan cinta dari seorang yang kita anggap memiliki kuasa atas permasalahan itu. Namun, ternyata kita malah semakin tenggelam karena ketidakmampuan kita dalam memahami ADA yang sesungguhnya. Benar, banyak orang merasa paham dan merasa tahu apa yang dialami sesama karena mereka telah mempelajari sedikit filsafat dari membaca buku. Namun, apakah benar demikian? Apakah kita sungguh memahami sesama? Apakah kita sungguh dapat melihat kebenaran dengan sedikit cahaya yang didapat dari korek api?
Sejak beberapa bulan terakhir, kita telah dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa, mulai dari seorang pria buta yang menangis karena merasa menjadi korban, seorang pria yang kehilangan jabatan karena menghina sesama, hingga seorang pemerkosa yang bahkan untuk memakan makanannya pun memerlukan bantuan orang lain. Kita terlalu banyak berucap, terlalu sering menyalahkan, dan terlalu sering menghukum. Mungkin mereka memang salah, dan mungkin mereka memang penjahat, tetapi mereka yang menjadikan itu sebagai bahan untuk mendongkrak karier dan kepentingan lainnya adalah penjahat sesungguhnya.
Selain permasalahan deontologis, yang mungkin sebagian orang tidak mengerti tanpa membuka Google atau ChatGPT, ada juga permasalahan lain: orang-orang yang sok pintar hanya bermodalkan membaca beberapa jurnal, merasa bijak dengan beberapa buku filsafat, dan podcast YouTube yang mereka tonton. Orang-orang naif yang merasa paling benar inilah yang merusak tatanan kemanusiaan yang ada. Hingga ambang batas antara benar dan salah menjadi kabur. Mereka yang seperti ini, yang mungkin tidak mengerti makna aseitas, a priori, ontologi, atau esensi jika tidak mencarinya di Google, terlalu berani menulis tentang doctrina sacra filsafat. Mereka terlalu berani mengenakan mahkota kebijaksanaan dan melegitimasi diri mereka sebagai seorang filsuf.
Padahal, beberapa tulisan yang mereka buat di beberapa artikel itu tidak lebih baik dari sampah. Lalu, kenapa mereka begitu berani menyentuh gelar kehormatan yang bahkan Socrates dan Diogenes saja tidak berani menyentuhnya? Mereka terlalu berani mengambil peran sebagai pendidik dengan ajaran remeh yang bahkan Plato dan Aristoteles akan muntah jika membacanya. Doctrina sacra filsafat harusnya tidak tersentuh oleh orang-orang yang ringan menempuh jalan terjal dan sepi di dunia kebijaksanaan. Mereka hanya mempermalukan semua yang telah mengabdikan diri pada Sang Kebijaksanaan, seperti Heraclitus, Thales, Anaximander, Habermas, Thomas Aquinas, Diogenes, Derrida, John Rawls, dan lain sebagainya.
Jika hanya membaca, simpanse pun bisa membaca. Jika hanya menonton, anjing pun bisa menonton. Tapi jika engkau mau duduk, mendengar, dan merenung, mungkin engkau bisa disebut seorang manusia. Jangan dulu menyentuh doctrina sacra filsafat. Dalam perjalanan menuju kebijaksanaan, banyak orang yang terjebak dalam ilusi pemahaman yang dangkal. Mereka menganggap bahwa dengan sedikit pengetahuan atau bacaan dari beberapa buku, mereka sudah memahami dunia ini, memahami sesama, dan bahkan mengklaim diri mereka sebagai pemegang kebenaran. Padahal, pemahaman sejati tidak datang dari membaca teori-teori atau mendengarkan ceramah semata. Pemahaman sejati datang dari pengalaman hidup, pengorbanan, dan perenungan yang mendalam. Itu adalah perjalanan yang penuh dengan kerendahan hati, bukan hanya mencari pengakuan atau ketenaran.
Kita sering terjebak dalam kesalahan bahwa kebijaksanaan hanya soal penguasaan teori atau pengetahuan yang bersumber dari buku. Namun, kebijaksanaan yang sejati adalah yang teruji dalam kehidupan nyata, dalam cara kita memahami dan memperlakukan sesama, dalam cara kita menghadapi permasalahan tanpa terburu-buru menyalahkan atau menghukum. Pemahaman tentang filsafat atau ajaran suci bukanlah sesuatu yang bisa dikuasai dalam semalam, melainkan hasil dari refleksi panjang yang melibatkan ketenangan hati dan pikiran yang jernih. Hanya dengan itu kita bisa mencapai pemahaman yang lebih dalam, yang tidak hanya menjelaskan dunia ini, tetapi juga memperbaiki diri kita sendiri dan sesama.
Mari kita berhenti sejenak, merenung, dan memulai perjalanan kita dengan kesadaran bahwa jalan menuju kebijaksanaan adalah perjalanan yang tidak mudah, namun penuh makna. Jangan terburu-buru dalam mengklaim kebenaran, karena hakikat dari kebijaksanaan adalah menemukan kebenaran dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.
Semua orang pernah mengalami permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan itu terkadang menjadi semakin rumit dan sulit untuk dipahami sehingga kita tenggelam di dalamnya. Ketika tenggelam, kita mengharapkan cinta dari seorang yang kita anggap memiliki kuasa atas permasalahan itu. Namun, ternyata kita malah semakin tenggelam karena ketidakmampuan kita dalam memahami ADA yang sesungguhnya. Benar, banyak orang merasa paham dan merasa tahu apa yang dialami sesama karena mereka telah mempelajari sedikit filsafat dari membaca buku. Namun, apakah benar demikian? Apakah kita sungguh memahami sesama? Apakah kita sungguh dapat melihat kebenaran dengan sedikit cahaya yang didapat dari korek api?
Sejak beberapa bulan terakhir, kita telah dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa, mulai dari seorang pria buta yang menangis karena merasa menjadi korban, seorang pria yang kehilangan jabatan karena menghina sesama, hingga seorang pemerkosa yang bahkan untuk memakan makanannya pun memerlukan bantuan orang lain. Kita terlalu banyak berucap, terlalu sering menyalahkan, dan terlalu sering menghukum. Mungkin mereka memang salah, dan mungkin mereka memang penjahat, tetapi mereka yang menjadikan itu sebagai bahan untuk mendongkrak karier dan kepentingan lainnya adalah penjahat sesungguhnya.
Selain permasalahan deontologis, yang mungkin sebagian orang tidak mengerti tanpa membuka Google atau ChatGPT, ada juga permasalahan lain: orang-orang yang sok pintar hanya bermodalkan membaca beberapa jurnal, merasa bijak dengan beberapa buku filsafat, dan podcast YouTube yang mereka tonton. Orang-orang naif yang merasa paling benar inilah yang merusak tatanan kemanusiaan yang ada. Hingga ambang batas antara benar dan salah menjadi kabur. Mereka yang seperti ini, yang mungkin tidak mengerti makna aseitas, a priori, ontologi, atau esensi jika tidak mencarinya di Google, terlalu berani menulis tentang doctrina sacra filsafat. Mereka terlalu berani mengenakan mahkota kebijaksanaan dan melegitimasi diri mereka sebagai seorang filsuf.
Padahal, beberapa tulisan yang mereka buat di beberapa artikel itu tidak lebih baik dari sampah. Lalu, kenapa mereka begitu berani menyentuh gelar kehormatan yang bahkan Socrates dan Diogenes saja tidak berani menyentuhnya? Mereka terlalu berani mengambil peran sebagai pendidik dengan ajaran remeh yang bahkan Plato dan Aristoteles akan muntah jika membacanya. Doctrina sacra filsafat harusnya tidak tersentuh oleh orang-orang yang ringan menempuh jalan terjal dan sepi di dunia kebijaksanaan. Mereka hanya mempermalukan semua yang telah mengabdikan diri pada Sang Kebijaksanaan, seperti Heraclitus, Thales, Anaximander, Habermas, Thomas Aquinas, Diogenes, Derrida, John Rawls, dan lain sebagainya.
Jika hanya membaca, simpanse pun bisa membaca. Jika hanya menonton, anjing pun bisa menonton. Tapi jika engkau mau duduk, mendengar, dan merenung, mungkin engkau bisa disebut seorang manusia. Jangan dulu menyentuh doctrina sacra filsafat. Dalam perjalanan menuju kebijaksanaan, banyak orang yang terjebak dalam ilusi pemahaman yang dangkal. Mereka menganggap bahwa dengan sedikit pengetahuan atau bacaan dari beberapa buku, mereka sudah memahami dunia ini, memahami sesama, dan bahkan mengklaim diri mereka sebagai pemegang kebenaran. Padahal, pemahaman sejati tidak datang dari membaca teori-teori atau mendengarkan ceramah semata. Pemahaman sejati datang dari pengalaman hidup, pengorbanan, dan perenungan yang mendalam. Itu adalah perjalanan yang penuh dengan kerendahan hati, bukan hanya mencari pengakuan atau ketenaran.
Kita sering terjebak dalam kesalahan bahwa kebijaksanaan hanya soal penguasaan teori atau pengetahuan yang bersumber dari buku. Namun, kebijaksanaan yang sejati adalah yang teruji dalam kehidupan nyata, dalam cara kita memahami dan memperlakukan sesama, dalam cara kita menghadapi permasalahan tanpa terburu-buru menyalahkan atau menghukum. Pemahaman tentang filsafat atau ajaran suci bukanlah sesuatu yang bisa dikuasai dalam semalam, melainkan hasil dari refleksi panjang yang melibatkan ketenangan hati dan pikiran yang jernih. Hanya dengan itu kita bisa mencapai pemahaman yang lebih dalam, yang tidak hanya menjelaskan dunia ini, tetapi juga memperbaiki diri kita sendiri dan sesama.
Mari kita berhenti sejenak, merenung, dan memulai perjalanan kita dengan kesadaran bahwa jalan menuju kebijaksanaan adalah perjalanan yang tidak mudah, namun penuh makna. Jangan terburu-buru dalam mengklaim kebenaran, karena hakikat dari kebijaksanaan adalah menemukan kebenaran dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H