Dunia tampak semakin kacau. Petinggi agama hingga pemerintah seolah tidak peduli dengan apa yang menimpa umat dan rakyatnya. Ketika semua orang sibuk bertahan hidup di dunia yang semakin sulit untuk diajak berkompromi, muncul sebuah pertanyaan: Mendidik kaum muda adalah tanggung jawab siapa? Pertanyaan ini begitu melelahkan, karena kita sudah cukup terbebani untuk tetap waras di tengah segala kesulitan yang ada. Namun, entah bagaimana, kita kembali dihadapkan pada persoalan baru. Pertanyaan ini bukan sekadar permintaan klarifikasi, melainkan sebuah gugatan: siapa yang patut disalahkan atas kondisi generasi muda saat ini?
Generasi muda kerap dianggap gagal, rusak, dan minus etika. Mereka sering berdalih kebebasan berpendapat atau perubahan zaman untuk membenarkan perilaku mereka. "Yang dulu bukan sekarang," begitu kata mereka. Namun, apakah perubahan zaman membenarkan kebebasan berekspresi tanpa batas? Jika demikian, apa bedanya kita dengan orang gila? Mungkin memang ada baiknya menjadi gila, agar bisa bebas sebebas-bebasnya.
Pandangan semacam ini muncul karena generasi muda merasa terintimidasi oleh doktrin-doktrin lama yang sering dilontarkan, seperti "Di zaman ayah dulu" atau "Di zaman ibu dulu." Perkataan semacam ini bisa membuat mereka merasa kurang dihargai dan tidak dianggap sebagai manusia yang bebas. Jika demikian, apa sebenarnya akar persoalannya? Apakah cara mendidik orang tua dan sekolah yang sudah usang? Atau justru generasi muda yang salah memahami kebebasan itu sendiri?
Lebih mudah bagi kita untuk menggugat daripada memberikan solusi. Namun, gugatan yang tajam seringkali lebih efektif daripada solusi yang sifatnya instan dan sementara. Mentalitas serba instan inilah yang menjadi akar permasalahan besar. Segala sesuatu ingin cepat dan mudah, tanpa usaha yang berarti. Mentalitas ini membuat generasi muda kehilangan ketahanan dan menjadi lembek, sehingga muncul status quo yang mempertanyakan: mendidik generasi muda adalah tanggung jawab siapa?
Jika kita ingin memperbaiki kondisi ini, kita harus keluar dari pola pikir instan. Pendidikan tidak hanya tanggung jawab orang tua atau sekolah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kita perlu menciptakan ruang yang mendukung pertumbuhan karakter dan nilai-nilai etika yang relevan dengan zaman, tanpa kehilangan prinsip dasar kemanusiaan. Dialog yang terbuka antara generasi tua dan muda harus diperkuat, sehingga tidak ada lagi jurang pemisah yang semakin melebar.
Menjadi "gila" mungkin bukan solusi, tetapi mungkin ini saatnya kita semua berhenti menyalahkan dan mulai bertanya pada diri sendiri: Apa yang bisa saya lakukan untuk mendidik, mendampingi, dan menginspirasi generasi muda? Hanya dengan demikian, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, bukan dengan kebebasan yang tidak terkendali, tetapi dengan kebebasan yang bertanggung jawab.
Langkah konkret yang bisa diambil mencakup pembaruan sistem pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan global, memberikan ruang bagi generasi muda untuk menyampaikan aspirasi mereka tanpa merasa dihakimi, serta memastikan mereka memiliki akses terhadap lingkungan yang sehat dan mendukung. Selain itu, orang tua dan pendidik perlu menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai integritas, kerja keras, dan tanggung jawab.
Generasi muda bukan hanya cerminan zaman sekarang, tetapi juga investasi masa depan. Oleh karena itu, menanamkan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter harus menjadi prioritas. Mari kita mulai dari hal kecil: mendengarkan mereka dengan sungguh-sungguh, menghargai perspektif mereka, dan menunjukkan bahwa mereka adalah bagian penting dari masyarakat. Jika setiap individu mengambil bagian dalam tugas ini, masa depan yang lebih cerah bukan hanya impian, tetapi sebuah kepastian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H