Mungkin bagi kebanyakan orang, tempayan adalah sebuah tembikar atau kerajinan tangan biasa yang tidak lebih dari pajangan atau alat rumah tangga. Apa lagi harganya yang terjangkau membuat tempayan menjadi sebuah barang biasa yang tidak memiliki nilai sama sekali. Terkecuali tempayan-tempayan hias yang memang memiliki harga tinggi di mata kolektornya.
Namun dalam pandangan suku dayak tempayan tidak hanya dilihat sebagai panjangan maupun alat rumah tangga. Bagi suku dayak tempayan memiliki nilai filosofis tersendiri. Hal ini terlihat dari berbagai macam ritual-ritual yang ada tempayan selalu menjadi sarana yang digunakan. Mulai dari sebagai mahar pernikahan, tempat tuak dalam acara gawai sampai penanda tingkat kekayaan dalam suku dayak. Intinya tempayan di dalam pandangan suku dayak memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan.
Tempayan sendiri memang memiliki nilai filosofis tersendiri. Pada mulanya di peradaban suku dayak tidak semua orang mampu membeli dan memiliki tempayan. Hanya tokoh-tokoh tertentu seperti ketua suku, temenggung, hingga orang-orang yang memiliki perekonomian menengah ke atas. Maka dari itu, setiap orang yang memiliki tempayan pada zaman dulu dianggap orang yang paling kaya atau berada. Hal ini dikarenakan perekonomian di suku dayak bukan diukur dengan emas. Dahulu emas tidak dipandang sebagai sesuatu yang berharga oleh suku dayak. Karena memang emas di tanah Kalimantan sangat mudah didapatkan dan terkesan menjadi barang yang tidak berharga. Berbeda dengan tempayan dan barang-barang keramik lainnya yang sulit didapat karena berasal dari cina dan sulit untuk didapatkan.
Itulah yang menyebabkan mengapa tempayan begitu berharga di mata suku dayak. Selain karena susah didapat harganya juga sangat mahal karena berasal dari cina. Faktor-faktor inilah yang dulu membuat masyarakat suku dayak t tidak semua mampu memiliki tempayan. Oleh karena itu, tempayan menjadi salah satu mahar perkawinan yang wajib ada. Selain harganya yang mahal, proses untuk mendapatkannya yang sulit juga menjadi alasan mengapa tempayan dijadikan mahar perkawinan. Alasan tidak lain adalah mau menggambarkan bahwa hidup berkeluarga bukan sebuah permainan yang bisa dimainkan siapa saja.
Hidup berkeluarga adalah suatu hal yang suci dan sakral bagi suku dayak. Karena itu tempayan yang sulit untuk dicari dan mahal memang sangat sesuai untuk melambangkan kesakralan itu. Akan tetapi dewasa ini, tempayan telah kehilangan harga dimata masyarakat dayak. Kebanyakan orang tidak terlalu memahami arti sebenarnya dan nilai filosofis yang dimiliki oleh tempayan. Selain harganya yang murah, tempayan juga sudah mudah untuk didapatkan.
Tempayan yang kehilangan nilai filosofisnya ini juga menggambarkan hidup berkeluarga di zaman sekarang. Sekarang hidup berkeluarga seakan kehilangan makna dan kesakralannya. Hal ini tampak dari banyak orang yang mudah menceraikan pasangannya karena masalah-masalah sepele. Â Hidup berkeluarga seakan menjadi sebuah wahana atau taman bermain dimana kita bisa seenaknya.
Oleh karena itu, kita sebagai bangsa dayak yang mencintai adat dan tradisi sudah seharusnya menjaga kesakralan dan kesucian dalam hidup berkeluarga. Bagi kita masyarakat dayak hidup berkeluarga adalah sebuah anugrah dari yang Maha Kuasa. Pandangan ini tentu didasari oleh sulitnya mahar yang harus dipenuhi sebelum kita memperistri seorang Wanita suku dayak. Selain tempayan yang mahal dan sulit didapat, kepala dari musuh kita juga menjadi mahar dan syarat utama untuk kita memulai hidup berkeluarga. Hal ini menggambarkan bahwa kita sudah siap dan bisa menjaga keluarga kita. Zaman sekarang memang tidak mungkin bagi kita untuk berburu kepala untuk membuktikan kesakralan hidup berkeluarga. Namun hal ini bukan alasan untuk kita menganggap remeh hidup berkeluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H