Memilih hidup berkeluarga bukanlah pilihan mudah bagi semua orang. Diperlukan komitmen bersama untuk saling mencintai, menerima kekurangan dan kelebihan yang pasangan kita miliki. Mencintai memang mudah untuk diucapkan, bahkan karena mudahnya mengucapkan kata ini, kita bisa mengucapkannya beribu-ribu kali bahkan jutaan kali. Akan tetapi untuk mempraktekannya dibutuhkan suatu komitmen dan prinsip yang kuat jika tidak perkataan itu hanya sebatas kata-kata manis yang tidak terbukti.
 Selain mencintai pekerjaan yang paling mudah untuk dikatakan namun juga sulit untuk dilakukan adalah menerima. Kita mungkin sering mendengar kata-kata ini diucapkan "aku menerimamu apa adanya" entah di film atau pasangan kita yang mengucapkannya. Namun dalam prakteknya hanya  Sebagian kecil saja yang menunjukkannya lewat tindakan. Mencintai dan menerima orang lain memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk kita mempraktekkannya, salah satu contohnya bisa kita lihat dalam kitab suci yaitu kisah tentang bunda Maria dan santo Yusuf.Â
Bagaimana Ketika Yusuf tau bahwa Maria mengandung di luar nikah, santo Yusuf tidak langsung menyalahkan atau pun memojokan bunda Maria. Dia tidak langsung menjudgment bunda Maria sebagai Wanita yang tidak baik akan tetapi ia mencoba untuk merenungkan semuanya, ia mencoba untuk melihat semuanya dari semua sudut pandang, hingga akhirnya lewat cintanya yang begitu tulus kepada bunda Maria, karya keselamatan dari Allah dapat terjadi (Bdk Mat 1:18-25).Kita pun dalam kehidupan ini sama, seperti Yusuf. Kita ingin supaya pasangan kita sempurna tanpa  memiliki cacat-cela dalam hidupnya.
 Akan tetapi dalam proses menerima kekurangan pasangan kita, kita tidak bisa menyamai Yusuf. Kita lebih ingin dicintai daripada mencintai, ingin dihargai dari pada menghargai. Mentalitas seperti inilah yang pada akhirnya membawa kita pada kehancuran diri kita sendiri maupun pasangan kita. Memang diperlukan sikap rendah hati dan bisa menerima kekurangan orang lain dalam hidup berkeluarga supaya kita bisa mengerti arti dari cinta sejati.
Kita sudah banyak mendengar dongeng tentang cinta sejati seperti Romeo dan Juliet, Rama dan Sinta hingga Dilan dan Milea. Kita selalu berandai-andai supaya pasangan kita bisa seromantis Romeo kepada Juliet atau sebaliknya, setulus Rama dan Sinta, bahkan sesederhana hubungan Milea dan Dilan. Akan tetapi apakah kita mampu menerima kekurangan dan masa lalu pasangan kita seperti mereka? Jawabannya tergantung pada cara kita memberi cinta kita pada keluarga kita maupun pasangan kita.
Dalam hal ini kita seharusnya merefleksikan kembali apa arti mencintai. Yang membuat semua pasangan sulit untuk saling mengerti adalah sikap egois dan ingin menang sendiri tanpa mau saling mengerti. Wanita ingin dimengerti, pria ingin dipuji, Wanita menggunakan hati, pria menggunakan akal budi. Tanpa kerendahan hati dan sikap saling menerima satu sama lain maka yang akan terjadi adalah kehancuran di dalam hubungan tersebut.
Cinta sejati tidak hanya berhenti pada proses menerima dan mencintai, tetapi lebih kepada saling menghormati dan memahami. Dengan mencintai kita memberi, dengan memberi kita menerima, dengan menerima kita memahami dan dengan memahami kita menghormati. Mencintai pada hakikatnya adalah memberi diri seutuhnya kepada pasangan kita, yang kepadanya kita mengucapkan janji untuk setia untuk sehidup semati hingga akhir tua. Janji ini hanya tinggal janji apa bila kita  tidak memiliki prinsip untuk menjaga kesetiaan itu.
 Oleh karena itu sebagai pasangan cinta Allah dan lambang cinta Allah pada Gereja. Hendaknya kita mencintai pasangan kita apa adanya dan menerimanya seperti kita menerima Allah. Karena cinta sejati itu adalah dia yang senantiasa memberi diri sutuhnya kepada pasangannya tanpa melihat kekurangan yang dimiliki pasangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H