Tidak ada yang dapat kami sampaikan selain rasa kecewa kami terhadap pemerintah. Terutama mereka yang mengaku diri sebagai putra daerah Dayak. Namun hanya diam saja ketika tradisi dan budaya yang ada mulai diancam dihapuskan oleh kebijakan pemerintah.Â
Kami kecewa dengan setiap janji yang diucapkan mereka ketika mereka mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Tetapi ketika sudah menjadi wakil rakyat, bukanya membela mereka dan menyuarakan suara rakyat mereka hanya diam saja.
Tradisi yang sudah lama menjadi identitas suku Dayak dengan mudahnya dihapuskan karena salah satu sudut pandang ilmu pengetahuan. Pemerintah seakan tidak menyadari dan melihat secara keseluruhan bahwa budaya berladang merupakan sebuah kepenuhan dan identitas dari suku Dayak.Â
Hal ini membuat kami sangat kecewa karena selain menghapuskan tradisi yang sudah mendarah daging. Mereka juga menghancurkan sumber penghasilan dan mata pencarian kami. Bukannya memberikan solusi serta edukasi tentang pengembangan perekonomian masyarakat menengah seperti kami. Pemerintah malah menyiksa kami dengan mengambil satu-satunya pekerjaan tempat kami menggantungkan hidup.
Bagi kami ladang adalah identitas dan sarana kami dalam mengungkapkan rasa syukur sekaligus penyesalan akan dosa terhadap yang Maha Kuasa. Ketika panen berlimpah kami mengadakan pesta panen atas rahmat yang telah ia berikan.Â
Dan ketika panen gagal kami merenung dan merefleksikan apa kesalahan yang telah kami lakukan baik terhadap alam maupun manusia. Melarang kami membakar lahan, sama saja melarang kami berdoa kepada yang Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H